lunedì 30 aprile 2012

Pesan Paus untuk hari doa untuk panggilan sedunia

Panggilan sebagai sebuah rahmat cinta kasih dari Allah
Hari doa untuk panggilan sedunia XLIX, yang akan diselenggarakan pada tanggal 29 april 2012, tepatnya pada minggu Paska IV, mengundang kita untuk merengungkan tema: Panggilan sebagai  sebuah rahmat cinta kasih Allah.
Sumber segala rahmat yang sempurna adalah Allah, yang adalah Kasih – Deus Caritas est –: «barangsiapa tinggal di dalam Kasih, tinggal di dalam Allah dan Allah tinggal  di dalam dia» (1Yoh 4,16). Kitab suci mengkisahkan relasi original ini yang menghubungkan relasi antara Allah dan umat manusia. Sebuah relasi yang mendahului penciptaan manusia itu sendiri. Santo Paulus, ketika menulis surat kepada umat kristiani di Efesus, mengangkat sebuah kidung pujian dan syukur kepada Allah Bapa, dimana dengan kebajikan yang tidak terbatas Dia telah mewujudnyatakan gambaran karya keselamatan, yang adalah gambaran cinta kasih. Dalam diri sang Putera, demikian Santo Paulus menguraikan, Dia «telah memilih kita sejak sebelum penciptaan dunia, untuk menjadi kudus dan tak bercela di hadapannya di dalam cinta kasih» (Ef 1,4). Kita dicintai oleh Allah “jauh sebelum” kita mulai berada. Dia telah «menciptakan kita dari ketiadaan» (bdk. 2Mak 7,28) dan digerakkan semata-mata oleh kasih tanpa syarat, Dia menuntun kita kepada kepenuhan persatuan dengan diri-Nya.
Terpukau oleh karya penyelenggaraan ilahi tersebut, seorang pemazmur berseru: «ketika kulihat langit-Mu, karya jari-Mu, bulan dan bintang yang kau ciptakan, apakah manusia itu sehingga Engkau ingat? Siapakah anak manusia itu sehingga Engkau pelihara?» Mzm 8,4-5). Kebenaran mendasar dari keberadaan kita termaktub dalam misteri yang menakjubkan ini: setiap ciptaan, secara khusus setiap pribadi manusia, adalah buah dari inspirasi dan cinta kasih Allah, sebuah cinta kasih yang amat dalam, cinta kasih yang setia dan abadi (bdk. Yer 31,3). Pemahaman akan realitas ini mengubah sungguh-sungguh kehidupan kita dari dasar. Di dalam sebuah halaman termasyur dari karya “Pengakuan-pengakuan” Santo Agustinus, dia menggambarkan dengan intensitas yang amat dalam, penemuannya tentang Allah sebagai sebuah cinta kasih dan keindahan yang amat menakjubkan. Dia adalah seorang Allah yang selalu dekat, tetapi pada akhirnya Dia membuka pikiran dan hati untuk diubah: «terlambat aku mencintaimu, keindahan yang begitu klasik dan begitu baru menawan, terlambat aku mencintaimu. Ya, karena ketika Engkau berada di dalam aku, aku sendiri berada di luar. Di sana kucari Engkau. Dalam ketidaksempurnaanku, kulemparkan diriku pada berbagai bentuk keindahan karya-karya ciptaan-Mu. Ketika Engkau bersama aku, aku sendiri tidak ada berada bersama Engkau. Karya-karya ciptaan-Mu mengikat aku jauh dari pada-Mu. Jatidiriku musnah, jika aku tidak berada di dalam Engkau. Engkau memanggilku, dan teriakanmu menembus ketulianku;  Engkau menari-nari dan kemegahan-Mu membuyarkan kebutaanku; Engkau menyebarkan keharumanmu dan aku menghembuskan nafas serta merindukanmu, terlebih aku menjadi lapar dan haus akan Engkau; Engkau menyentuhku dan aku terbakar dalam kerinduan akan damai-Mu» (X,27.38). Dengan gambaran ini, Santo dari Hippona berusaha untuk melukiskan misteri yang tak terperikan dari sebuah perjumpaan dengan Allah, dengan Cinta kasih-Nya yang merubah seluruh esistensi (cara berada) kita.
Di sini, kita berbicara tentang sebuah cinta kasih yang tanpa syarat, yang mendahului kita, yang menopang kita dan memanggil kita sepanjang jalan kehidupan. Cinta kasih ini berakar dalam kemurahan hati yang mutlak dari Allah, tanpa menuntut balasan apapun. Sambil mengacu secara khusus pada pelayanan imamat, pendahulu saya, Beato Yohanes Paulus II menegaskan bahwa «setiap bentuk pelayanan, sambil menuntun untuk mencintai dan melayani Gereja, mendorong juga untuk semakin mendewasakan  diri dalam cinta kasih dan dalam pelayanan kepada Yesus Kristus, Gembala dan Mempelai Gereja; sebuah cinta kasih yang mewujudnyatakan selalu sebuah jawaban aktual, bebas dan cuma-cuma dari Allah di dalam Yesus Kristus (Exhort. Pastores Dabo Vobis, n° 25). Itulah sebabnya, setiap panggilan khusus lahir dari Allah, dari prakarsa Allah, adalah rahmat cinta kasih Allah! Dialah yang menggenapi “tahap pertama” dan ini, bukan karena kebaikan tertentu yang ditemukan dari dalam diri kita, namun berdasarkan kehadiran cinta kasih-Nya yang sama «yang dituangkan dalam hati kita oleh Roh Kudus» (Rm 5,5).



Di sepanjang sejarah, ada inisiatif cinta kasih Allah yang tidak terbatas pada setiap sumber panggilan ilahi yang termaktub sepenuhnya di dalam Yesus Kristus. Sebagaimana terjabar dalam ensiklik Deus caritas est, «pada kenyataannya, ada sebuah kemajemukan visi tentang Allah. Dalam sejarah cinta kasih yang diceritakan oleh Kitab Suci kepada kita, Dia mendatangi kita dan berusaha merangkul kita hingga pada perjamuan suci terakhir, lalu pada Hati kudus-Nya yang tertikam di atas salib, kemudian pada penampakan-penampakan dari-Nya yang Bangkit dan melalui karya-karya-Nya yang  agung yang dikerjakan oleh para rasul, Ia menuntun perjalanan Gereja yang baru lahir. Demikian juga dalam sejarah Gereja pada tahap berikutnya, Allah tidak pernah absen. Dengan cara-cara baru Dia mendatangi kita melalui para abdi-Nya; melalui Sabda-Nya, di dalam sakramen-sakramen dan secara khusus di dalam sakramen ekaristi» (n° 17).
Cinta kasih Allah tinggal untuk selamanya. Dia tetap setia kepada dirinya sendiri, kepada «sabda yang disampaikan dari generasi-generasi pendahulu» (Mzm 105,8). Untuk itu perlu mewartakan kembali sebuah keindahan yang memikat dari cinta kasih ilahi ini yang mendahului dan mendampingi, secara khusus kepada generasi-generasi baru. Cinta kasih ini adalah sebuah energi hidup yang tersembunyi dan sebuah motivasi yang tidak pernah pudar, meski hidup ditengah-tengah situasi yang amat sulit.
Saudara/i terkasih, kepada cinta kasih inilah hendaknya kita membuka lembaran kehidupan kita, karena Dia adalah kesempurnaan dari cinta kasih Allah (bdk. Mt 5,48) yang memanggil kita  setiap hari: Yesus Kristus! Tolok ukur kehidupan kristiani terletak dalam mencintai “seperti” Allah. Di sini kita berbicara tentang sebuah cinta kasih yang terejawantahkan dalam pemberian diri seutuhnya secara setia dan berkelimpahan. Kepada seorang pemimpin biara di Segovia (di Spanyol), dalam masa hukumannya karena sospensi yang diterimanya, santo Yohanes dari Salib menjawab, sambil mengundangnya untuk bertindak seturut dengan kehendak Allah: «jangan berpikir pada suatu apapun selain bahwa Allah mengatur segala sesuatu. Dimana tidak ada cinta kasih, bawalah cinta kasih, dan cinta kasih ini akan mengumpulkan cinta kasih» (surat, 26).
Di atas konteks oblatif, serta di dalam keterbukaan diri terhadap cinta kasih Allah dan sebagai buah dari cinta kasih ini, lahirlah dan bertumbuhlah beranekaragam panggilan. Sambil menimba dari sumber ini dalam doa, dalam ketekunan menghayati Sabda Allah dan merayakan sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi, menjadi mungkin bagi kita untuk menghidupi cinta kasih kepada sesama, dimana dari padanya manusia belajar untuk menyingkap wajah Yesus Kristus Tuhan (bdk. Mt 25,31-46). Untuk melukiskan hubungan yang tak terpisahkan yang berlangsung antara “dua bentuk cinta kasih” ini, – cinta kasih terhadap Allah dan cinta kasih terhadap sesama –, yang dihasilkan dari sumber ilahi yang sama dan kepadanya terarahkan, Bapa Paus Santo Gregorius Agung menggunakan sebuah tunas kecil sebagai sebuah contoh: «Di dalam hati kita sebagai sebuah tanah garapan, Allah telah menanam terlebih dahulu sebuah benih cinta kasih terhadap-Nya dan kemudian benih ini menumbuhkan cinta kasih kepada sesama (Moralium libri, sive expositio in Librum B. Job, Lib. VII, cap. 24, 28; PL 75, 780D).
Kedua ungkapan dari cinta kasih ilahi yang tunggal ini haruslah dihidupi dengan intensitas khusus dan dengan kemurnian hati, dari mereka yang telah memutuskan untuk menapaki jalan kemuridan melalui penjernihan panggilan menuju imamat dan hidup bakti. Kedua bentuk ungkapan cinta kasih ini merupakan unsur yang penting. Pada kenyataannya, cinta kasih terhadap Allah, – yang dari padanya para imam dan religius menjadi gambaran pengejawantahan-Nya, meskipun selalu tidak sempurna –, adalah motivasi dari jawaban atas panggilan atas hidup bakti yang khusus, melalui tahbisan imamat atau pengikraran kaul-kaul injili. Jawaban tegas dari Petrus kepada Sang Guru: ”Engkau tahu bahwa aku mencintaimu” (Yoh 21,15), menjadi rahasia dari sebuah jatidiri yang diserahkan seutuhnya dan dihidupi dalam kepenuhannya. Itulah sebabnya ia memenuhinya dengan kebahagiaan yang amat dalam.
Pengejawantahan aktual lainnya dari cinta kasih terhadap orang lain, -secara khusus terhadap mereka yang membutuhkan dan yang bersengsara-, adalah sebuah dorongan yang menentukan yang menjadikan para imam dan para religius sebagai sosok pembangkit persatuan antara masyarakat dan si penabur harapan. Relasi diantara para hidup bakti, secara khusus para imam, dengan komunitas umat kristiani adalah vital dan menjadi bagian mendasar dari cakrawala afektivitas mereka. Dalam hal ini, Santo dari Ars selalu mengulang: «seorang imam tidak menjadi imam bagi dirinya sendiri, melainkan bagi kalian, komunitas kristiani» (Le curé d’Ars. Sa pensée – Son cœur, Foi Vivante, 1966, p. 100).
Saudara-saudara terkasih dalam episkopat, yang terkasih para imam, diakon, religius, katekis, pekerja pastoral dan kalian semua yang berdedikasi dalam bidang pendidikan bagi generasi muda, saya mendorong anda dengan sangat untuk lebih mendengarkan dengan seksama, bagaimana ungkapan-ungkapan panggilan akan imamat dan hidup bakti itu muncul di dalam berbagai kelompok, gerakan rohani dan di dalam komunitas paroki. Dengan demikian, menjadi penting bahwa, di dalam Gereja diciptakan situasi-situasi yang kondusif, agar bisa memekarkan banyak jawaban positif, sebagai tanggapan yang murah hati akan panggilan cinta kasih Allah.
Menjadi tugas dari kelompok pastoral panggilan untuk menawarkan beberapa panduan agar menghasilkan jawaban atas panggilan yang berlimpah. Unsur utama adalah cinta kasih akan Sabda Allah, yang dipupuk dengan keakraban yang semakin hangat dengan Sabda Allah dan doa pribadi serta doa bersama komunitas secara teratur, agar mampu merasakan panggilan ilahi di tengah berbagai macam suara yang memenuhi hidup kita sehari-hari. Sakramen ekaristi pada khususnya, hendaknya menjadi “pusat kehidupan” untuk setiap peziarahan panggilan: di sinilah cinta kasih Allah menyentuh kita dalam kurban Yesus Kristus, yang menjadi ungkapan sempurna cinta kasih! Di sinilah kita selalu belajar terus menerus untuk menghidupi ukuran sempurna cinta kasih Allah. Sabda Allah, doa dan Ekaristi merupakan harta karun yang berharga untuk memahami keindahan yang mempesona dari sebuah kehidupan yang seutuhnya dibaktikan untuk Kerajaan Allah.
Saya berharap bahwa gereja-gereja setempat, dalam berbagai unsurnya, menjadi sebuah tempat untuk melakukan pembedaan roh dan penjernihan panggilan, sambil menawarkan kepada kaum muda sebuah pendampingan rohani yang serius dan bijaksana. Dengan cara seperti ini, komunitas-komunitas kristiani pada dirinya sendiri menjadi ungkapan cinta kasih Allah yang menjaga setiap perwujudan panggilan.  Dinamika ini, yang menjawab pertanyaan dari perintah baru Yesus Kristus, bisa menemukan pengungkapannya yang unik dan berarti di dalam keluarga-keluarga kristiani, dimana cinta kasih merupakan ungkapan cinta kasih Kristus yang telah memberikan dirinya sendiri bagi Gereja-Nya (Ef 5,32). Di dalam keluarga, yang merupakan sebuah komunitas kehidupan dan cinta kasih (Gaudium et Spes, 48), para generasi muda dapat menghidupi pengalaman luar biasa tentang cinta kasih tanpa pamrih ini. Dengan demikian, keluarga tidak hanya menjadi tempat istimewa untuk membentuk jatidiri manusiawi dan kristiani, tetapi dapat juga menghadirkan “sebuah seminari untuk memupuk panggilan yang pertama dan terbaik bagi hidup yang dibaktikan untuk Kerajaan Allah.” (Familiaris Consortio, 53), sambil menyingkap di dalam keluarga itu sendiri, keindahan dan pentingnya imamat dan hidup bakti. Para imam dan seluruh awam hendaknya bekerja sama selalu, agar di dalam Gereja semakin berlipat “rumah-rumah dan sekolah-sekolah” ini yang bercermin pada Keluarga Kudus di Nazaret. Dialah cermin yang harmonis dari kehidupan Tritunggal yang mahakudus di atas muka bumi.
 Dengan harapan-harapan ini, saya memberkati kamu semua dengan berkat apostolic dari dalam lubuk hati terdalam, bagi para saudara dalam episkopat, bagi para imam, diakon, religius dan bagi semua umat beriman, khususnya kaum muda yang dengan hati tulus menempatkan diri untuk mendengarkan suara Allah dan siap menyambutnya dengan kemurahan hati dan kesetiaan.

Vatikan 18 oktobre 2011
Benediktus XVI

diterjemahkan dari
p. alfonsus widhi sx

Nessun commento:

Posta un commento

Lettura d'oggi

Friends