sabato 31 marzo 2012

Renungan tentang Salib


Salib yang muram, salib yang berbahagia dan Salib Penebus
Biasanya kita cenderung untuk mengkontemplasikan salib yang berada di tengah-tengah. Yang lain mungkin kita kesampingkan, kita remehkan, kita anggap sebagai figuran atau mungkin kita anggap tidak ada dan tidak perlu diperhatikan. Sebenarnya bukan begitu. Di puncak golgota ada tiga salib: salib yang muram, salib sang Penebus dan salib yang berbahagia. Ketiga salib itu membentuk sebuah satu kesatuan yang menggambarkan kehidupan kita. Semuanya menghadirkan realitas (penderitaan) umat manusia, dimana Yesus Kristuslah kepalanya.
Salib yang berbahagia: penjahat yang disebelah kanannya terlukis dengan warna yang cerah. Wajahnya tenang. Menyadari bahwa dia pantas menerima ganjaran salib dan mengakui bahwa Yesus itu tidak pantas menerima salib, karena dia tidak bersalah sedikitpun. Dalam situasi ini, dia mencoba mencari relasi antara salib yang dia terima dan salib yang Yesus sedang jalankan; antara penderitaan yang dia alami dan penderitaan yang Yesus alami. Di hadapan salib ini, kita hendaknya merenung lebih lama lagi, karena kita pun hendaknya belajar untuk melihat penderitaan kita dalam terang penderitaan Yesus. Berusaha mencari keterkaitan dan hubungan antara salibku dan salib Yesus.
Salib yang muram: penjahat di sebelah kiri Yesus terlukis dengan warna yang gelap. Dia tidak berusaha mencari keterkaitan antara penderitaanya dengan salib Yesus. Bahkan, dia bertindak menentang. Baginya, salib itu tidak memiliki arti sama sekali. Hanya kalau diturunkan dari salib secara fisiklah, maka dia akan selamat dari neraka ini. Tetapi itu tidak terjadi. Ketertutupan ini yang membuat dia makin jauh terpisah dari Allah. Tapi bisa mengherankan kita, kok dia bisa berada begitu dekat dengan Yesus? Maka kita pun bisa bertanya, berapa salib muram yang kita miliki dalam kehidupan? Segala penderitaan, segala keadaan dimana kita memberontak terhadap Allah atau mungkin kita pernah menyesal karena menjadi korban dari nasib dan ganasnya kehidupan.
Salib Yesus: berada di tengah-tengah kedua penjahat, di pusat, tidak jauh dari satu dan dari yang lain. Sebuah realitas yang mengharukan: Yesus tidak menjauhkan diri dari berbagai macam penderitaan manusia, dari kedua salib itu. Dengan kata lain: dimana ada salib, di situ Yesus pun berada. Ini tidak dapat dipungkiri lagi.
Penutup: santo Fransiskus dari Sales menceritakan, di daerah savoia ada sebuah kebiasaan begini. Ibu-ibu atau mbak-mbak yang menimba air di sumur, biasanya menempatkan sepotong kecil kayu di permukaan air dalam ember. Ketika ditanya mengapa, mereka menjawab: potongan kecil kayu itu berguna untuk menjadikan air supaya lebih tenang dan tidak bergejolak. Santo itu kemudian menulis sebuah surat kepada uskup di Genoa sambil menyebutkan kebiasaan ini dan menguatkan uskup itu begini: Salib Yesus Kristus adalah sepotong kayu yang menami ketenangan batin ditengah berbagai macam pencobaan dalam hidup. Jika hatimu bergejolak dan tidak tenang, taruhlah salib di tengah-tengah, maka engkau akan menemukan kedamaian dan peneguhan. Amin.


disarikan dari Szentmàrtoni, M., "Ritiro di quaresima per i sacerdoti della congregazioni per il clero", 7 marzo 2007
alih bahasa: p. alfonsus widhi sx
Postulat xaverian di Bintaro
pekan suci 2007

domenica 25 marzo 2012

hidup sebagai seorang murid Yesus adalah sebuah kebijaksanaan tentang kematian untuk mencintai

Minggu Prapaska V, tahun B

Apakah makna dari kata Perjanjian Baru yang dimaksudkan oleh Yeremia pada bacaan pertama? Dimanakah letak kebaruannya? Kenabian Yeremia terletak pada kemampuannya mengintuisi akan kedatangan waktu dimana Allah menaruh Taurat-Nya dalam batin manusia: aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka. Aspek baru yang muncul di sini adalah gerakan ke dalam, sebuah interiorisasi dari hukum-hukum Allah. Dalam penghayatan kehidupan keberagamaan, kebaruan bukan terletak pada isi perjanjian Allah dengan manusia, melainkan pada gaya hidup umat beriman. Dari yang terbatas pada mengikuti struktur lahiriah, menuju ke penghayatan batiniah. Dari kedalaman batin umat beriman, akan terasa kekuatan ekspresi lahiriah dari pelaksanaan hidup beragama.
Mengapa Yeremia menubuatkan aspek interiorisasi kehidupan beragamaan ini? Dia meyakini bahwa Allah itu memahami seluk beluk dan liku-liku kedalaman hati manusia. Dalam hati kita ada keutamaan nilai-nilai batiniah, seperti ketaatan dan cinta kasih kepada Allah, iman kepercayaan kepada Allah .. dst. Aspek inilah yang hendaknya dimurnikan terus menerus. Misalnya: bagaimana visi kita tentang Tuhan, tentang sesama, tentang dunia dan tentang diri kita sendiri? Jadi, perubahan yang diharapkan oleh Yeremia adalah sebuah perubahan sikap batin manusia beriman, agar beriman dengan dewasa dan tidak terbatas pada aspek lahiriah saja. Seperti Hosea, teks Yeremia memberi karakter perjanjian baru ini dengan cinta dan belas kasih – disimbolkan dengan perkawinan, dimana menuntut sebuah relasi batin yang tulus dan jujur. Oleh karena itu, wajar saja Yeremia menekankan dan manusia agar menyucikan hatinya.
Dampak kenabian Yeremia bisa terlihat kemudian pada teks Yeheziel dan Yesaya yang mengangkat kembali tema perjanjian. Menurut mereka, apa yang dituliskan oleh Yesaya bukanlah sebuah perjanjian baru, melainkan sebuah perjanjian kekal yang tidak dapat dihancurkan atau diingkari (Yeh 16,60. 34,25 dan 37,26 serta Yes 55,3 dan 61,8). Alasannya, ini menjadi mungkin karena hati yang baru sudah ditempatkan dalam hati manusia dan semangat yang baru sudah diberikan pada mereka.
Perjanjian baru dan kekal itu sekarang termaktub dalam Ekaristi yang kita rayakan. Perjanjian itu telah berinkarnasi dalam Tubuh dan Darah kristus. Dengan menerima ekaristi, berarti kita mengambil bagian dalam perjanjian itu dan terus menerus menerima panggilan untuk menyucikan hati kita. Setiap orang dipanggil kepada kekudusan. Menjadi santo atau santa bukanlah hak khusus bagi orang-orang tertentu, bagi orang eropa atau amerika saja, bagi biarawan/I saja, tapi bagi semua orang. Gereja tidak mencetak orang kudus dengan memberi gelar santo/a, tetapi mengakui kekudusan mereka, mengakui kesetiaan mereka dalam perjuangan sehari-hari untuk menjadi pengikut Yesus Kristus. Dengan demikian, mereka bisa menjadi contoh konkret bagi banyak orang.
Kembali pada tema perjanjian yang baru dan kekal, dalam injil kita melihat bahwa perjanjian ini bersifat universal. Dari mana kita peroleh universalitas perjanjian ini? Mari kita lihat konteksnya. Bacaan Yoh 12,20-33 merupakan sebuah episode yang tidak bisa terpisahkan dari kebangkitan Lazarus dari kubur (Yoh 11), pengurapan Yesus di Betania oleh Maria (tidak jelas identitas maria ini, bisa Maria saudari Lazarus, Maria dari Magdala atau Maria, seorang pendosa yang bertobat) dan masuknya Yesus ke Yerusalem yang disambut oleh massa berlimpah ruah. Siapakah mereka? Yohanes menyodorkan beberapa kemungkinan: mereka yang telah mendengar kisah kebangkitan Lazarus dan pergi ke Betania sebelum Yesus masuk ke Yerusalem (Yoh 12,9), mereka yang telah melihat kebangkitan Yesus dan terus mengikutinya (Yoh 12,17), mereka yang telah mendengar tentang peristiwa Lazarus dan mencari Yesus ketika dia masuk ke Yerusalem (Yoh 12,18). Jangan kita lewatkan juga, bahwa ada juga massa yahudi yang datang ke Yerusalem untuk pesta pondok daun (Yoh 12,12).
Yang menarik buat kita adalah kedatangan para orang Yunani ke Yerusalem. Bukan urusan mereka untuk ikut pesta pondok daun. Tetapi mereka datang untuk mencari Yesus: Tuan, kami ingin  bertemu dengan Yesus. Kedatangan mereka merupakan tanda bahwa saatnya sudah tiba (selalu dikatakan tidak pada Yoh 2,4; 7,30 dan 8,20). Maka kata kematian dan kemuliaan bagi Yesus menjadi identik: salib dan kemuliaan itu bersuara mirip. Di sinilah ada sebuah dialektika antara mencintai dan membenci, yang bagi kita adalah sebuah dialektika kemuridan. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. Barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Hidup atau mati? Siapa yang hidup dan siapa yang mati? Apa yang hidup dan apa yang mati?
Yang diminta di sini adalah sebuah totalitas. Hukum ini berlaku untuk semua umat kristiani. Kalau ada seseorang menyatakan cintanya pada orang lain secara tulus dan jujur. Cinta ini musti dipahami sebagai sebuah hidup yang terberikan, maka diapun rela untuk mati demi sang kekasih, demi orang yang dicintainya. Kalau benar cinta itu adalah sebuah cinta tanpa syarat. Kalau suami mengatakan cinta, tetapi tidak mau bekerja dan malas-malasan di rumah, atau istri mengatakan hal yang sama dan bahkan dia tidak mau punya anak, tetapi kalau anak asuh boleh. Apakah artinya cinta tulus dan jujur itu?
Bebaskanlah dirimu dari segala ketakutan. Kalau engkau benar-benar ingin mencintai seseorang dan mengikutinya, berikanlah dirimu seutuhnya padanya, tanpa syarat dan tanpa ikatan apapun, baik lahir dan batin, yang bisa menghalangi cintamu itu. Kalau kita mau mengaplikasikan ini pada jalan kemuridan maka hidup sebagai seorang murid Yesus adalah sebuah kebijaksanaan tentang kematian untuk mencintai.

p. alfonsus widhi sx
Wisma xaverian Bintaro, 25 maret 2012

La morte di lazzaro (Gv 11)

Cosa si può dire della morte di Lazzaro?
è necessaria!! affinchè la fede dei discepoli risorgesse con Lazzaro dalla tomba!
alla fine, possiamo dire che è la fede nostra trabbocca dall'incertezza dell'identità di Gesù; una fede principiante che spera e aspetta sempre un miracolo per soddisfare gli occhi a vedere qualcosa di straordinario.
La resurrezione di Lazzaro offre a noi una possibilità per guardare dal dentro. Visto che il Signore ha scritto la sua Torah nei nostri cuori (Ger  31,31-34), allora diventa possibile che il nostro cuore abbia la sete.... è quella di trovare la pace nel Colui che ha  lasciato le sue orme dentro di noi. In questa ricerca.. viene offerta a noi di risorgere insieme con Lazzaro la nostra incredulità e la nostra durezza del cuore.

mercoledì 21 marzo 2012

domenica 18 marzo 2012

Aku memandang Dia, Dia memandang aku dan mengatakan banyak hal kepadaku (Conforti)


Salib tersenyum di Puri Javier, tempat kelahiran st. Fransiskus Xaverius di Spanyol 
Renungan Minggu Prapaska IV
Bacaan: 2 Taw 36: 14-23; Ef 2,4-10 dan Yoh 3,14-21

Perjalanan Israel, yang diceritakan pada bagian pertama, bergerak seperti sebuah film.  Dari sisi bangsa Israel: Kita melihat bagaimana kehidupan mereka diwarnai dengan sebuah litani ketidak setiaan: karena ikut-ikutan dengan «mode» atau «yang lagi ngetrend dengan zaman» (karena bangsa-bangsa lain berbuat demikian, maka akupun berbuat demikian juga donk) atau memang karena kehendak sendiri untuk memutuskan bertindak tidak setia.
Dari sisi Allah yang telah menciptakan mereka «amat baik adanya», Dia terus menerus mengirimkan para pekerja-Nya, para nabi, para rasul dan para orang kudusNya. Tetapi Israel menolak, menghina, mengejek, membunuh mereka dan sekaligus membakar rumah Allah dan merobohkan tembok Yerusalem. Seorang nabi yang dibungkam atau sebuah bait Allah yang dihancurkan ≈ Manusia memutuskan relasi mereka dengan Allah. Seorang nabi / seorang kudus, berbicara dan menyampaikan pesan Allah; Sebuah bait Allah merupakan simbol pertemuan antara Allah dan manusia (teologi Perjanjian Lama: Allah yang merendahkan diri dan manusia yang memuji kebesaran Allah).
Kitab tawarikh ditutup dengan sebuah harapan: Raja negeri Persia (bdk. bukan orang Israel, orang asing!) memerintahkan pembangunan kembali bait Allah di Yerusalem. Harapan ini, dalam Perjanjian Baru diteruskan dan makin dispesifikkan, bukan kepada bangunan bait Allah, hukum taurat, sabat dan Yerusalem, melainkan pada person, pada manusia, pada Allah yang berinkarnasi dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia: Yesus Kristus.
Yohanes dalam injil membuat satu perbandingan langsung pada inti inkarnasi Allah ini: Musa meninggikan ular di padang gurun – Anak Manusia yang harus ditinggikan dari bumi.
Kata meninggikan / ditinggikan dalam bahasa Ibrani bermakna ganda antara kematian dan kemuliaan. Dalam bahasa Aram langsung bicara pada salib, menggantungkan sesuatu. Dalam Injil Yohanes, tekanan pada kenaikan Yesus yang berkelanjutan. Dari inkarnasi yang bergerak turun, ke peziarahan kembali kepada Bapa. Pendek kata, dari salib menuju kebangkitan.
Bagaimana proses ini dipahami dalam injil Yoh bab 3?
Pada awal bab ini, dikisahkan bahwa Nikodemus datang kepada Yesus: pada waktu malam dan menyapa Dia sebagai «Rabi, guru yang diutus oleh Allah». Alasan: tida ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang dibuat Yesus, jika Allah tidak menyertainya.
Pada akhir bab ini (perikop yang kita renungkan hari ini), ditutup dengan sebuah ajakan untuk meninggalkan kegelapan dan pergi menyongsong cahaya, datang kepada terang. Lalu, Yesus menyatakan diriNya sebagai: Anak Tunggal Allah – Anak yang diutus ke dalam dunia – Yesus ≈ terang dunia.
Namun, ada yang aneh-mengganjal: bagaimana dengan hukuman? Allah menghukum mereka yang tidak mau ikut sang Terang? Kucoba merumuskan begini «hukuman itu»: adalah manusia yang terus bergulat dalam kegelapan. Hatinya terus mencari, tapi tidak pernah mencapai kepenuhan karena bukan Yesus Kristus yang mengisi. Contoh praktis adalah seorang yang menang tapi tak bisa merasakan dan merayakan kemenangan itu, orang yang memiliki banyak harta duniawi tapi tak pernah merasa cukup dan terus menumpuknya .. orang yang hidup terpisah dari Allah akan menemukan satu ruang kosong di dalam hatinya. Bukan Allah yang menghukum, tapi hati manusia yang memisahkan diri dari Allah dan menemukan ketidakbahagiaan.
û  Orang terhukum atau “pendosa” yang dibicarakan oleh Yohanes, bukanlah pendosa yang ikut-ikutan karena ajakan teman, bukan mereka yang tidak bisa membedakan tangan kiri dari tangan kanan, melainkan orang yang telah melihat Terang, tetapi hatinya membenciNya dan menolak kehadiranNya. Coba bandingkan refren Mazmur: hanya pada Tuhanlah hatiku tenang. Ketenangan menjadi symbol kehadiran Tuhan.
Salah satu simbol kehadiran Tuhan adalah salib. Demikian pengalaman Musa di padang gurun dan juga pengalaman kita. Santo Gregorius Agung, dalam predica per la festa di un santo martire, menjelaskan dua jalan bagaimana kita memanggul salib:
Dengan berkorban, berpantang, berpuasa, ber-askese, menyangkal diri dengan segala prinsip egoisme dan kelekatan tak teratur. Ini tidak cukup, meski ide yang dibawa adalah mengikuti jejak Kristus, tetapi dia tidak mengikuti-Nya. Namun, hati-hati, jangan sampai terjebak pada fariseisme, logika do ut des atau orang yang merasa cukup bisa membeli surga dengan matiraga dan perbuatan baik yang dia perbuat. Sering kita terjebak pada pemikiran: aku datang kepada Yesus dengan segala pengorbanan dan salib yang kupanggul agar aku dibenarkan dan diloloskan masuk dalam kerajaan-Nya.
Pengampunan itu gratis. Allah telah mencintaimu sebelum engkau menyadarinya. Allah telah mencarimu sebelum engkau memutuskan untuk berlutut, bertobat dan kembali kepadaNya. E.g. saya menerima kehidupan ini sebagai rahmat gratis dari Allah, maka saya berusaha membagikan kepada saudara, melalui imamat dalam keluarga xaverian. Begitupun anda dalam lingkup kecil, di dalam keluarga, tempat kerja, dan lingkungan, anda bisa membagikan hidup ini bagi sesama. Conforti menyebut hidup yang terbagi ini sebagai tindakan kasih. Maka, model memanggul salib yang kedua menurut Gregorius Agung adalah: memanggul salib + memiliki rasa belas kasih kepada orang lain, karena menyadari bahwa Allah yang mahakasih, sudah menebus kita dengan salib dan kebangkitan-Nya.
Minuccio felice, seorang advokat, pembela umat kristiani di Roma abad II, menulis Dialog dengan OktaviusTentang salib dia menulis: mahkota kemenanganmu hendaknya tidak hanya mengikuti sebuah salib yang telanjang saja, melainkan sebuah salib bersama dengan seorang manusia yang tergantung diatasnya.
Berbicara tentang salib, tidak berbicara soal dua kayu yang tersilang, melainkan dengan Kristus yang tersalibJangan malu mengakui Kristus yang tersalib dalam berbagai macam situasi, demikian Santo Cirilus dari Aleksandria menali dalam katekese untuk para calon babtis.
Dalam berbagai situasi, dengan iman, kita bisa membuat tanda salib. Semua orang bisa buat, tanpa perlu banyak tenaga. Tanda sederhana ini merupakan pengharapan bagi yang putus asa, kekuatan bagi yang lemah, perdamaian bagi yang bertobat dan sekaligus menjadi sarana kemuliaan Allah yang ditinggikan, yang menarik semua orang kepadaNya. Melalui salib menuju kebangkitan.
Janganlah melecehkan salib, karena kesederhanaannya, karena ke-gratis-an keselamatan / cinta kasih yang diberikan Allah pada kita. Sebaliknya bersyukurlah karena dengan memandang Dia, hati kita menemukan ketenangan karena, menurut pengalaman mistik dari Santo Conforti: aku memandang Dia, dia memandang aku dan mengatakan banyak hal kepadaku.
p. alfons sx
wisma xaverian bintaro

giovedì 15 marzo 2012

El rostro de los crucificados

Reconstruir una vida marcada por el dolor, en una vida llena de sentido y esperanza, es el milagro de una fe que se ofrece precisamente a los más desvalidos, a los pobres y marginados, a las víctimas de todo tipo y condición.
articulo escrito da Carmen Belver


El rostro de los crucificados

lunedì 12 marzo 2012

The Way - El Camino [ Why not priest ? - ¿Y por qué no ser Sacerdote? ]




The Way


In a lonely field I walked one morning in the rising sun
Everything was still and silent; a prayer was in my heart. I wondered
“In other lands beyond these hills, beyond my little world
How can I bring your message, and bear your light?”
Then the winds came, and the pouring rain, and I was swept away,
And your quiet voice spoke in my heart, “Just follow… I’ll show you the way.”
A path now lay before my feet and stretched beyond my sight,
And I didn’t know the days, the years, or what would lie ahead.
A running stream beneath a towering mountain, flowers, thorns, an endless journey.
Every step I took I had you there at my side.
Then the day came, when he called your name, and led you to his side
And I heard a voice speak in my heart.
Don’t stand there looking at the sky, don’t let these moments pass you by,
A tired hungry world is waiting for you.
The path is long but have no fear, rise up stand tall and dry your tears,
I’ll be right here at your side. Always.
Though the road was long we journeyed on, we followed in your footsteps,
You taught us how to find our way, and how to hear your voice.
But the day was growing older and the Sun began to hide,
And we were tired and we feared the coming night…
Then the storm came, we were all alone. You seemed so far away,
And we didn’t know where to turn…
And Thomas said, “How can we know the way?”
We don’t know where you’re going. Won’t you stay?
Can’t you see? It’s too much for me…
 “Don’t be afraid. You already know the way.”
Don’t stand there looking at the sky, don’t let these moments pass you by,
A tired hungry world is waiting for you.
The path is long but have no fear, rise up stand tall and dry your tears,
I’ll be right here at your side.
I’ll be right here at your side. You know the way.


Read more....

domenica 11 marzo 2012

10 Perintah Allah = Jalan menuju kebebasan


Dari Keluaran 20, 1-17
Kesan umum tentang kesepuluh perintah Allah bagiku ada dua.
Pertama, berisi larangan-larangan tentang apa yang harus kita lakukan dan tidak boleh kita lakukan. Bentuk kalimat: Jangan + kata kerja. Kesan umum adalah bahwa kita tidak memiliki banyak kemungkinan. Mengikutinya =  memperoleh berkat. Mengabaikannya = kutukan. Pilihan hanya sedikit: surga atau neraka. Benarkah demikian?
Kalau kita melihat konteks perjanjian waktu itu, bangsa Hittit, ketika berhasil menaklukkan negara-negara jajahannya, dia selalu membuat perjanjian bilateral dengan dihadiri oleh saksi. Jika kedua pihak tetap setia memenuhi kewajiban dan janji yang tertulis, maka ada keuntungan-keuntungan yang bisa dirasakan. Demikian dengan sebaliknya, kalau ada yang melanggar, pasti ada sangsi. Di sinilah letak peran penting dari saksi yang akan mengontrol jalannya kesepakatan tersebut.
Sepuluh perintah Allah juga merupakan sebuah perjanjian antara Allah dan umatnya. Namun, di sini dijelaskan bahwa yang menjadi saksi adalah bumi, langit dan angin yang berhembus. Ini menandakan kerapuhan dari perjanjian dan pihak-pihak yang menandatangani perjanjian. Di satu sisi, dari sejarah Israel kita memahami bahwa Allah tetap setia. Yang ditetapkan sejak awal akan diketemukan sama dengan akhir. Di sisi lain, manusia ternyata rapuh dan terus mengisi lembaran sejarah hidupnya dengan ketidaksetiaan. Pertanyaannya, mengapa Allah berkenan setia kepada manusia yang tidak setia? Karena Dia menghargai kebebasan manusia dan percaya kepadanya.
Mengapa kok ada kepercayaan macam ini ya?
  • Mari kita baca baris pertama Kitab Keluaran 20 ini: Akulah Tuhan Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Rupanya, Allah kita mempunyai rasa memiliki (sense of belonging, il senso di appartenenza) terhadap manusia yang adalah ciptaan-Nya, yang diciptakan secitra dan serupa dengannya (Kej 1,27) untuk memahkotai karya penciptaan-Nya. Ketika di Mesir, manusia ini terjebak dalam perbudakan, Aku memperhatikan kesengsaraan umatku, aku mendengar teriakan dan jeritan mereka, aku mengetahui penderitaan mereka (Kel 2). Perlu ditandai di sini bahwa Allah tetap dekat dengan manusia, tetap setia dan mau membebaskannya, meskipun manusia menjadi hamba dan menghambakan diri pada kerja paksa yang tidak menghargai makna dari waktu!
  • Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat. Yang menarik dalam kitab Keluaran ini adalah bahwa penulis memperjauh cakrawalanya sampai pada kisah penciptaan. Ini membedakan uraian Sepuluh perintah Allah yang terdapat di kitab Ul 5,6-21. Enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, 6 hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmuBekerja berarti menaklukkan dunia dan berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah. Tanpa kerja, manusia akan merasa kosong, karena kerja merupakan salah satu panggilan utamanya. Kalau pada hari ketujuh  Allah berhenti menciptakan dunia, maka hari ini diberkati dan dikuduskan. Tetapi, bukan berarti beristirahat pada hari ketujuh agar bisa bekerja lagi 6 hari kemudian. Bukan ini alasannya. Ini adalah penjelasan dari Aristoteles. Pada hari ketujuh, Allah masih tetap juga bekerja. Ini adalah pekerjaan tersulit: dari berhenti menaklukkan dunia ke beralih menaklukkan diri sendiri. Dari bekerja yang adalah ikut ambil bagian dalam karya penciptaan, beralih ke mengkontemplasikan ciptaan, mengkontemplasikan hasil pekerjaan. Kita ingat bahwa  Tanpa hari sabat, karya penciptaan tidak akan pernah sempurna, Allah dan manusia akan terus terbelenggu oleh perbudakan. Nanti dalam Perjanjian Baru ditegaskan kembali oleh Yesus bahwasabat adalah untuk manusia, agar dia kembali kepada status asalnya sebagai mahluk yang diciptakan secitra dan serupa dengan Allah.

Maka, kalau dipikir-pikir lagi, ke-10 perintah Allah ini bukanlah sebuah hukum dan larangan belaka, melainkan peziarahan menuju kepada kebebasan. Para mistikus mengenal ini sebagai via negativa, jalan negatif (jangan  kata kerja) untuk mencapai hasil positif.
Maka mari kita ingat selalu bahwa di depan kita terhampar sebuah ruang kreatif yang amat luas: sebuah tempat dimana manusia bisa turut berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah. 10 peraturan ini hanyalah sebagian kecil dari apa yang boleh dan bisa kita lakukan untuk turut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah dengan kebebasan yang kita miliki di dalam Yesus Kristus.

Kedua, biasanya sering dijelaskan bahwa skema perintah ini terbagi dalam dalam dua bagian: perintah pertama sampai ketiga mengatur relasi antara  Allah dan  manusia, dari keempat sampai ke sepuluh berbicara soal relasi manusia dengan sesamanya. Bisa juga diusulkan yang ketiga, berkaitan dengan perintah kesepuluh, yaitu hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan hatinya. Mari kita jelaskan.
Perintah 1-9 berisi tentang tindakan konkret dan dapat diverifikasi oleh orang lain. Kelihatan!  Sebaliknya, perintah kesepuluh berbicara tentang keinginan. Ini menyentuh soal hati. Tidak kelihatan dan tidak bisa diverifikasi secara sepintas. Siapa yang bisa menebak kedalaman hati manusia? Keinginan yg muncul dari hati itu menjadi motor yang menggerakkan pikiran dan segala kegiatan, termasuk melanggar segala perintah yang ada sebelumnya. Misalnya, sebelum  mencuri, ada keinginan untuk memiliki. Sebelum bersaksi dusta atau menduakan Allah, ada keinginan untuk mendewakan egoisme pribadi, untuk jaga image, untuk melindungi kepentingan-kepentingan pribadi dst.
Maka disini, perintah ini menyentuh akar dari perbudakan dan dari dosa: yaitu hati manusia yang rapuh. Ia cenderung menciptakan allah-allah yang lain, yg bisa dilihat, dipegang, ditaklukan.. memiliki sesuatu yang menjamin rasa aman dalam hati. Misalnya, kalau orang sudah menemukan stabilitas dalam hidup, yaitu cukup kerja, ada rumah, harta berlimpah untuk hidup, dia merasa cukup dan tidak butuh lagi komunitas. Ini menunjukkan orang yang tidak bebas. Kebetulan tema APP ke-3 dari Keuskupan Agung Jakarta berbicara tentang  berkorban dan berbagi. Orang yang masih terbelenggu dan tidak bebas, bagaimana mungkin dia akan bisa berkorban dan berbagi? Kalau orang masih berkutat terus dengan dirinya, berpikir tentang dirinya sendiri, bagaimana mungkin dia akan sanggup melihat apa yang dibutuhkan oleh orang lain? Di sini, manusia diajak untuk melonggarkan hatinya, keluar dari kesempitan hatinya dan masuk ke dalam hati orang lain, memahami dan berbelas kasih kepadanya.
Sebagai penutup, Bagaimana membaca kesepuluh perintah allah dari sudut pandang Yesus Kristus? Jawabnya sederhana: Yesus berangkat dari Bait Allah untuk menjelaskan kebebasan yang Dia bawa dan perjuangkan. Ingat, teks kita pada hari ini masih injil di Yoh 2! Kalau kita turut dari awal injil, kita akan menemukan sebuah kontemplasi tentang inkarnasi, kesaksian Yohanes tentang Yesus, panggilan para murid pertama, perkawinan di Kana sebagai tanda ke-Mesias-an Yesus dalam perjamuan surgawi, lalu turun ke Bait Allah yang merupakan salah satu dari lembaga-lembaga yang mengatur hidup bangsa Israel: Taurat, Bait Allah, hari sabat dan Yerusalem. Namun, dalam perkembangan sejarah, lembaga-lembaga ini mulai memberatkan dan menggarisbawahi aspek legalita, maka terjadilah perbudakan yang baru! Dan di sinilah Allah turun untuk membebaskan umatNya. Yesuslah lembaga dan agama yang baru.
Menjadi sebuah ajakan kemudian bagi manusia untuk membebaskan diri kita dari gambaran Allah yang do ut des, yang meminta pengorbanan kita untuk mendapatkan rahmatNya. Seorang pribadi Allah yang menuntut sebuah novena jenis A untuk mengabulkan lulus kuliah, novena jenis B untuk minta rejeki, novena jenis C untuk sembuh dari sakit, novena jenis ini untuk mendapat itu dst. Praktek semacam ini menunjukkan bahwa kita masih masuk dalam logika Perjanjian Lama, dalam logika perbudakan di Mesir. Kita masih belum memahami bahwa  kita sudah dicari/dicintai oleh Allah sebelum kita mencariNya/mencintaiNya. Maka, hati yang bebas, akan tergerak untuk berkorban dan berbagi (tema ke-3 APP, untuk keluar dari diri dan melihat kebutuhan orang lain, siapapun! Sebelum kita melihat dia itu siapa, apa kerja/agama/status sosial… dia adalah manusia Kej 1,27! Tidak ada yang namanya kehilangan sesuatu karena kita memberikan itu pada yang membutuhkan, karena segala yg kita miliki adalah rahmat dari Penyelenggaraan Ilahi. 
Marilah kita bebaskan diri kita dari berbagai hal yang masih menakutkan dan membelenggu kita. Jangan takut, karena engkau dikasihi oleh Allah. 

p. alfons sx
wisma xaverian. Bintaro. 11 maret 2011

giovedì 8 marzo 2012

Allah berbicara di internet?


Pada hari minggu ketiga prapaska ini kita melihat bagaimana Allah mengkomunikasikan diri lewat sepuluh perintah-Nya kepada Musa di atas sebuah gunung, sebagaimana dilukiskan oleh tradisi dari kitab Keluaran.
Masihkah pewahyuan itu berkelanjutan hingga saat ini?
Pertama, kalau pada zaman Nabi Musa, perwahyuan ini digambarkan amat dahsyat, bagaimana sekarang? Kita ingat bahkan dalam film the ten commandments, sang sutradara memberikan efek-efek yang memberi kesan keagungan yang menggetarkan hati nurani. Adakah penampakan yang ajaib ini terulang dengan fenomen luar biasa dan menghebohkan atau, sarana yang dipergunakan oleh Allah akan turut juga berubah?
Kedua, komunikasi antara Allah dan manusia kiranya mulai disadari bahwa relasi ini tidak menjadi privilegi bagi orang-orang tertentu, bagi mereka yang tinggal di tempat tertentu atau bagi kelompok berstatus social tertentu. Allah bebas dalam menyatakan diri-Nya kepada siapa saja dan dengan berbagai macam sarana yang Dia kehendaki.
Pertanyaan saya: termasuk internet? Apakah Allah sudah secanggih kita di zaman modern ini? Eh, barangkali pertanyaannya perlu dikoreksi kali ya???
Memang di satu sisi, internet menawarkan sebuah model dan bentuk baru berkomunikasi: jarak, waktu dan ruang menjadi relatif, pertemuan 5 orang dari lima benua bisa diadakan pada waktu yang bersamaan, orang bisa bertindak dari jarak jauh tanpa dia sendiri harus hadir di tempat kejadian, nilai fisik kepribadian manusia menjadi relative dan ini menawarkan sebuah bahaya laten bagi para homo electricus: terjebak dalam internet dan tidak tahu mau kemana. Jadinya, habis waktu berjam-jam hanya untuk melihat-lihat dan memuaskan egoisme belaka.
Bagaimanakah kita menghubungkan antara yang real dan yang obyektif? Apakah diantara keduanya ada perbedaan? Apakah yang kita temukan dan lihat di internet itu selalu obyektif? Atau merupakan realitas konkret? Ah … kiranya ini perlu satu pendalaman lagi di lain waktu. Lebih baik kita kembali ke pertanyaan tentang kemungkinan perwahyuan dari Allah di dalam internet dan atau kemungkinan Allah mengkomunikasikan dirinya lewat teknologi.
Kiranya tak perlu bersibuk ria melipatgandakan dan menciptakan sebuah bentuk berelasi yang baru, meskipun teknologi yang ditawarkan terus berkembang. Apalagi Apple baru saja meluncurkan produk iPad 3 bulan ini. Hal yang paling penting perlu disikapi adalah mengintegrasikan pesan dalam konteks kebudayaan yang baru yang dibawa oleh arus komunikasi dunia modern.
Pernah kita dengar homo sapiens, homo socialis, homo hominis lupus ecc… kini muncul istilah Homo electricus yang menjadi karakter para browser. Tapi rupanya, homo electricus kita di dalam dunia maya ini masih terlalu rapuh, misalnya:
  • Dia masih membutuhkan pusat perhatian dan menjadi pusat seluruh alam semesta atau semua orang di sekelilingnya.
  • Dia masih juga mengklaim hak untuk mengetahui segalanya dan berhak untuk ber-ada.
  • Dia haus untuk berkomunikasi, bertemu dengan orang lain dan didengarkan.

Kerapuhan ini menemukan tempat berekspresi dalam dunia internet?
Bisa jadi.
Internet menjadi sebuah medan pertempuran antara «aku ideal» dan «aku actual», sebuah lahan dialog dan perdebatan antara kebenaran dan kebohongan, sebuah ruang relasi humanis, sebuah kamar pertemuan antar budaya, tapi juga sekaligus sebuah sarana penyalahgunaan! Siapa yang berpengaruh dalam menentukan keputusan apakah internet akan menjadi sarana yang ampuh untuk pengembangan diri atau untuk penyalahgunaan? Di sinilah letak pentingnya kedewasaan pribadi para browser. Sebuah kedewasaan yang merupakan buah dari sebuah pendidikan di dalam keluarga, di sekolah atau kampus, di tempat kerja dan di lingkungan dimana para browser itu tinggal.
Dimana Gereja? Apakah Gereja sudah memanfaatkan sarana internet, menolaknya atau bersikap menjadi penonton sebuah dunia yang sedang berubah, yang sedang mencampuradukkan jaringan social virtual dengan jaringan yang real dan mengedepankan pentingnya sebuah face to face?
Silahkan membaca ensiklik Redemptoris missio dari Paus Yohanes Paulus II, the Church and internet dan Ethics in internet yang diterbitkan oleh Pontifical Counsil for Social Comunications.

Disarikan dari: Grienti, Vincenzo, Chiesa e Web 2.0. Pericoli e opportunità in rete, Cantalupa, Effatà 2009, 95 pp. 

p. alfonsus sx
Wisma xaverian, Bintaro. 8 maret 2012

mercoledì 7 marzo 2012

Prapaska Minggu 1

Renungan
  1. Perjanjian: Allah tidak akan menghancurkan lagi semuanya.
  2. Tiga tugas misi permandian Yesus (dan kita): Melawan kejahatan, Membawa damai dan  Mewartakan Injil Allah.
  3. Akhir zaman: Allah sudah tiba dan akan tiba lagi untuk memenuhi
  4. Tanda abu, tanda asal usul dan perpindahan. Symbol kefanaan dan kerapuhan.
  5. Konsekuensi logis: kita diundang (harus) bertobat dan percaya kepada injil melalui jalan-jalan kecil, jalan-jalan kerendahan hati.
  6. Bagi katekumen, minggu pertama prapaska ini mengajak kita untuk memahami: 
  • Makna pembabtisan
  • Undangan untuk hidup serupa dengan Kristus
  • Menggunakan logika berpikir, berperasaan dan bertindak seperti Kristus
  • Secara bertahap memahami siapakah Yesus Kristus yang kuikuti? Allah yang maha kasih!
Film
§        Green mile:
  • Apakah makna kasih bagi John Coffey, seorang raksasa hitam yang “kedapatan” dituduh menculik dan membunuh dua anak-anak kecil perempuan berkulit putih dan Paul Edgecomb, yang diperankan oleh Tom Hanks dalam figure sebagai kepala penjara bagian hukuman mati. Dialah yang mengantar para tahanan itu ke kursi listrik untuk dihukum mati.
  • Mengapa dalam hidup ada pihak yang berhak menentukan mati dan hidupnya seseorang? Bukankah manusia diciptakan oleh Allah dan telah ditebus juga oleh salib Kristus? Lalu, apakah artinya sebuah kehidupan?
  • Perhatikan perangai dan karakter masing-masing tahanan. Siapakan yang membawa damai? Bagaimana digambarkan damai itu dan bagaimanakah karakteristik damai yang bercorak injili?
§        The pillars of the earth
  • Film ken Follet ini mengetengahkan sebuah proses pembangunan sebuah katedral. Di dalamnya terdapat banyak sekali patung-patung yang mengekspresikan karakter manusia. Bagaimana sikap kita terhadap kejahatan yang muncul dari pelaku di sekitar altar?
  • Bagaimana kerendahan hati musti diekspresikan dalam konteks kejahatan yang merajalela?
  • Dimanakah unsur belaskasih Allah itu Nampak, ketika yang berkelakuan seenaknya sendiri mulai berkuasa dan hidup berkelimpahan, sedangkan mereka yang berjuang untuk hidup lurus-lurus dalam jalan kebaikan ternyata bersengsara?
§        Letters from Iwo Jima
  • Apakah makna mengambil sebuah keputusan tetap dan tidak dapat ditarik kembali? Apakah perjanjian dengan Allah bisa ditarik kembali?
  • Dimanakah letak nilai sebuah perjuangan? Apakah hasil menentukan pola bertindak kita sebagai murid Kristus yang hidup di dunia?
  • Bagaimana pendapatmu bila ada orang yang ingkar atau tidak setia?
§        Wall-E
  •  Apa nilai sebuah persahabatan? Jika engkau memiliki seorang atau beberapa sahabat, sejauh mana engkau terbuka dan berbagi dengan mereka?
  • Jika Allah menjadi sahabatmu, sejauh mana engkau mencintai dan setia kepadanya? Apakah yang menjadi tolok ukur sebuah persahabatan?
  • Pada akhirnya, persahabatan melahirkan sebuah kehidupan. 
p. alfonsus sx
Wisma xaverian, bintaro. 7 maret 2012


liturgi kehidupan


dari Yes 1,10.16-20
Dengarlah.. adalah kata pertama yang kita dengarkan pada bacaan ini. Aneh. Begitu pikirku. Tetapi realitasnya memang demikian dan tidak dapat dipungkiri. Sayang sekali tidak kita dengarkan dalam bacaan harian pada selasa ketiga ini, isi ayat 11-15 yang bisa membuat kita terhenyak seketika.
Yesaya berangkat dari konteks liturgy palsu yang dipraktekkan oleh Israel. Kepalsuan itu terletak pada motivasi yang mendorong orang berliturgi. Upacara liturgi direduksi menjadi sebuah tontontan agar dapat dilihat. Motivasi semacam ini tidak melibatkan integritas manusia seutuhnya. Hidupnya terpetak-petak antara doa dan pujian di dalam tembok bait Allah dan pekerjaan sehari-hari di dalam dunia. Tidak adanya koherensi ini menyebabkan manusia tidak menghidupi kehidupannya secara penuh.
Tetapi, terhadap orang semacam ini, Allah tetap mengarahkan suaranya kepada mereka: Dengarlah! Dengan demikian, mereka masih bisa berharap bahwa masih ada kehidupan di hadapan mereka, meskipun perlahan-lahan Israel mulai menghidupi nasib Sodom dan Gomora! Tentu saja, seruan untuk mendengarkan menjadi penting karena pertama, Allah yang diimani oleh Israel bukanlah Dia yang menghendaki kematian orang fasik, orang jahil atau orang jahat (bdk. Yeh 18,21-28). Justru sebaliknya, kepada merekapun masih ditawarkan sebuah ruang kehidupan agar mereka berbalik, bertobat dan membarui hidupnya. Kedua, Yesaya mengusulkan sebuah jalan untuk membarui hidup, yaitu dengan berliturgi yang benar, akrab disebut sebagai liturgi kehidupan. Ini adalah sebuah liturgi yang bercakrawala menyeluruh, yang melihat manusia seutuhnya dengan segala jerih payah, suka duka, kegembiraan dan keputusasaannya dst.
Jadi, di depan kita terhampar sebuah ajakan untuk mewarnai setiap pemikiran, perasaan dan kegiatan kita dengan kasih Allah yang telah merangkul kita, karena Allah kita bukanlah Dia yang menghendaki kematian, melainkan kehidupan.
p. alfonsus sx
7 maret 2012, xaverian-Bintaro

Lettura d'oggi

Friends