giovedì 30 agosto 2012

Doa = sebuah sinkronisasi 2 kehidupan


Salib besar di pintu masuk Rumah Ignasius di Loyola

Hidup doa itu perlu dipersiapkan: bukan romantisisme dan kehendak baik, tetapi menemukan realitas hidup. Kadang orang pergi ke Gereja, semata-mata bukan untuk berdoa bersama dengan komunitas, melainkan berusaha mencari ketenangan, bertemu dengan teman, bisa killing time ketika tidak tahu  harus berbuat apa di rumah. Maka, orang yang mengalami ini, perlahan-lahan bisa berkembang dalam doa ketika dia berani untuk sendiri, berdiam dan memandang Salib Kristus.
Kualitas doanya akan makin bermakna kalau ada kaitannya dengan kehidupan. Apa yang dia alami dalam hidup, apa yang dia pernah baca atau dengar homili tentang kisah hidup Yesus bisa merupakan sebuah bahan doa. Marilah kita mengingat bahwa doa bukanlah pertama-tama berbicara TENTANG Allah, melainkan berbicara DENGAN Allah. Dalam dialog ini, manusia bisa merasakan kalau doa bisa menjiwai seluruh aspek kehidupan kita dan kehidupan kita berubah menjadi rentetan manik-manik rosario, sebuah untaian mawar, sebuah doa. 
Dengan demikian, berdoa itu tidak sekedar menjadi pengemis, melainkan mensinkronisasikan hidup kita dengan apa yang merupakan kehendak Allah. Ternyata, tidak cukup hanya meminta apa yang aku butuhkan dalam hidup. Allah menghendaki lebih besar dari itu: yaitu kesediaan diri kita untuk dihidupi oleh Sabda-Nya. 
Semoga, dengan semakin berdoa bersama dengan Bunda Maria, perlahan-lahan hati kita pun dibentuk oleh ibu kita ini seperti hatinya, yang sanggup mendengarkan dan menyimpan segala sesuatu di dalam hati.
selamat berdoa
p. alfons sx

Spiritualità della sequela di Cristo


è una foto presa da quasi un secolo fa in Cina
 

La vocazione viene da Dio. A lui appartiene la nostra vita. Queste affermazioni sono il nucleo spirituale che Mons. Calza vuol tramandare per sottolineare il motore fondamentale della nostra vita. Si tratta di una motivazione che incarna e penetra la ragione, il cuore e la volontà dell’uomo. La storia dell’uomo si intreccia con la storia di Dio. Questa trama suscita una vita nuova nell’uomo in modo tale che egli si rende conto che la sua vita dipende totalmente da Lui e in Lui solo l’uomo può vivere.
È qui si intuisce la logica del cristianesimo che trasforma la vita e costruisce la persona. L’esperienza mistica che l’uomo sperimenta nel cuore di Dio sbocca nell’agire missionario in modo fervente. Attenzione! Non dovremmo entrare nella trappola. Per primo, il cristianesimo non è una organizzazione religiosa, ma è un gruppo di persone che vuole seguire il Signore. Di conseguenza, si trasmette la cultura della vita, perché la ricchezza dell’incontro con Dio fruttifica ampiamente nella quotidianità. Inoltre, non rovesciamo la logica cristiana con quella che ascoltiamo spesso: «facciamo del bene per poter entrare in cielo». Nelle varie storie dei santi, questa ultima logica non funziona. Anzi, i santi hanno incontrato Gesù Cristo per primo, poi la loro vita si sono trasformati e di seguito, hanno fatto del bene in modo totale, fino all’ultimo respiro: omnia et in omnibus Cristus. I primi paragrafi di Mons. Calza desidera dimostrare in modo decisivo che la sequela di Gesù Cristo è la via privilegiata della santità per entrare nel cuore di Dio, che è Santo. Solo a partire da Cristo possiamo compiere agire missionario, partecipando alla sua missione salvifica – universale.
È molto interessante poi questa citazione di Mons. Calza «perché molti possano conoscere, amare e servire Dio, salvare la propria la loro anima». Qui si intuisce l’importanza della relazione con Dio come il motore della vita missionaria. Infatti, Mons. Calza comunica la furbizia del maligno per staccarci da Dio. Facciamo tante cose belle e aiutiamo tanta gente, ma a volte noi missionari dimentichiamo il nostro Padrone, abbandoniamo il nostro Maestro nella cappella da solo. Questo è un esempio concreto nel vivere la santità in questo mondo come missionari. L’esigenza della vita missionaria è certa. I problemi vengono continuamente, anzi, si moltiplicano centinaia volte in breve tempo. Visto questo, Mons. Calza è deciso per delineare la nostra risposta. Dio ha deciso fermamente per salvarci in modo totale, dandoci suo unico Figlio, allora, la simile totalità è richiesta da parte nostra. In che modo rispondiamo la grandezza e la profondità dell’amore di Dio fino alla morte di croce, giusto per redimere i nostri peccati?
Per rispondere questa domanda, Mons. Calza sottolinea una spiritualità incarnatoria. È una spiritualità viva a partire dalla quotidianità. Leggere gli eventi quotidiani e verificarli dal punto di vista Dio stesso. questa  La santità è la nostra via. È vero! Ma è vero anche che viviamola in questo mondo! Non si tratta di vivere la santità sterile e fuori dal mondo, ossia rimanere chiusi dai muri della Chiesa, ma quella di Gesù Cristo che abita in mezzo a noi. Come la viviamo?
Mons. Calza è andato subito a toccare il centro della vita spirituale: unione di vita con Gesù Cristo. Ricordiamoci che sin dall’inizio, egli sottolinea l’urgenza dell’incontro con Dio come il motore della consacrazione di vita e di quella missionaria. Rincorrendo il triplice tappe del cammino di perfezione negli scritti dei santi, i pensieri dell’eccellenza giunge alla cima del pellegrinaggio, che è unione con Dio. Il compito delle suore non è soltanto imitare Gesù Cristo, ma prendere il cammino e andare dietro di lui. È camminare passo dopo passo sulle tracce di vita di Cristo.
Basta questo? No! Diventare uno con Lui. Lo scopo della sequela è entrare in comunione. Possiamo tradurre questa unione attraverso verticalizzazione della nostra storia ogni giorno, cioè leggere ed esaminare gli eventi quotidiani dal punto di vista del Vangelo. Questo significa diventare una replica o una copia perfetta della sua vita in mezzo al popolo di Dio. È Cristo lo specchio da cui possiamo leggere la nostra vita. Non potremmo crescere bene, se confrontassimo soltanto tra le doti e i difetti che abbiamo da una parte e l’ideale di vita dall’altra parte. In questo cammino di santità, ci vuole, non l’ideale di vita nostra, ma Gesù Cristo come il punto fermo di riferimento. Seguendo gli esempi antichi della sequela, Mons. Calza delinea l’importanza del Maestro e la sua regola per accompagnare il cammino di santità. La proposta di uno stile di vita comunitaria è chiara. Non si vive la sequela o la santità da solo, ma bisogna camminare insieme.
L’esperienza mistica che abbiamo vissuto con Dio è quella che condividiamo con le altre persone che non conoscono e non amano Gesù Cristo. Non si parte per la missione, senza aver l’esperienza con Dio. L’umiltà, l’amore e la pazienza diventano poi le colonne di virtù che sostengono la nostra vita missionaria.
p. alfonso sx
Wisma Xaverian Bintaro - Giacarta

domenica 26 agosto 2012

Minggu Biasa XXI: Waktunya membuat keputusan


kemana engkau akan pergi?
kenangan mendaki gunung di Italia
Hiya benar. Kini saatnya untuk mendengarkan suara hati dan memberikan apa yang terbaik untuk kesehatan pribadi. Menentukan pilihan adalah sebuah hak dasar yang dimiliki oleh tiap orang sebagai perwujudan dari kebebasannya. “Kebebasan yang aku miliki itu mau aku kemanakan?”
Dalam memilih ada beberapa pihak yang sering membantu kita untuk menjernihkan motivasi. Misalnya: Mengapa sih aku memilih warna ini dan bukan itu? Model baju ini dan bukan yang itu? Pihak penjual bisa membuat iklan apa saja. Toko bisa memasang etalase seindah dan semenarik mungkin. Kata-kata yang memikat, tampilan yang mempesona, setting tempat dan suasana bisa dibuat sedemikian rupa sehingga kita bisa merasa nyaman di dalamnya. Namun, keputusan dan kebebasan untuk memilih ada di tangan kita.
Pilihan Petrus untuk tinggal bersama Yesus bukan sebuah pilihan yang mudah. Melihat teman-temannya yang pergi karena perkataan Yesus itu keras bagi mereka. Melihat Yesus ditinggalkan oleh sedikit orang saja, tentu membuat hatinya kecil. Tetapi, Petrus ingat akan peristiwa Yesus yang menghendaki dia untuk menjadi pelayan manusia. Petrus ingat akan tatapan Yesus yang penuh belas kasih dan cinta yang tanpa pamrih. Pendek kata, Petrus merasa dekat dan bahagia bersama dengan Yesus, karena dia menemukan Kehidupan itu sendiri.
Yesus, dalam uraian tentang Roti Kehidupan dalam injil Yoh 6 ini, tetap bersikukuh akan kebenaran yang terungkap di dalam diri-Nya. Dia tidak mundur meski pengikutNya mulai berkurang. Dia tidak mencari jalan ketiga. Dia tidak memodifikasi pernyataanNya. Bahkan dengan berani Dia menawarkan “kebebasan” kepada para muridNya untuk menentukan posisi. Ini adalah sebuah resiko amat besar.
Cukup menarik kalau kita melihat pernyataan Petrus. Dia menggarisbawahi kata “percaya” sebelum “mengenal” Yesus secara penuh. Maka, hanya dengan iman, dengan percaya itulah kita bisa memahami misteri Yesus Kristus yang berkarya juga di dalam diri kita.
Memang seringkali sulit mengambil sebuah keputusan yang radikal dan definitif. Sebuah keputusan yang tetap dan tidak berubah lagi sampai akhir hidup. Banyak hal menarik dan penuh dengan tarik ulur dalam kehidupan: berbagai bentuk tahayul dalam dunia modern, hasrat akan harta dan kekuasaan tanpa batas, sensualitas dalam dunia moral yang bergerak perlahan namun pasti menjauh dari kode etik budaya, keinginan untuk mendominasi orang lain, insting untuk dilayani dari pada melayani dst.
Maka, uraian penutup dalam injil Yoh 6 ini bisa menjadi sebuah ajakan bagi kita untuk bertobat secara bertahap. Marilah kita mohon rahmat dari Allah untuk dapat memiliki sebuah keberanian membuat dan memperbaharui setiap keputusan yang kita ambil, agar tetap menunjukkan identitas kita sebagai anak Allah yang ditebus dan dikasihi. Memang inilah kondisi kemanusiaan kita yang terus menerus diombang-ambing oleh badai taufan. Semoga, tantangan hidup setiap hari makin mendewasakan kita untuk memperbaharui pilihan kita dengan berpijak pada Yesus Kristus, Sang Roti Kehidupan.
p. alfonsus widhi sx

venerdì 24 agosto 2012

Cara Berdoa

Doa
Tinggal di dalam, namun memiliki cakrawala ke luar
Foto di A. Costalonga

Bahan doa bisa beramcam-macam. Saya mengusulkan sebagai beberapa bahan seperti perikop dalam Kitab Suci, pengalaman sehari-hari yang direfleksikan dalam terang Injil atau ajaran Gereja. Lamanya doa bermacam-macam. Bisa sekejap mata, semenit, sepuluh menit atau satu jam. Untuk lebih menikmati doa ini, ada baiknya setiap pengalaman doa selama satu jam, diikuti oleh kesempatan untuk mengulang. Waktunya tergantung pada anda. Misalnya berdoa satu jam pagi hari, maka untuk mengulang "nikmatnya" doa tersebut bisa dilakukan selaman beberapa menit di tengah hari, atau di sore hari. Maksud pengulangan ini adalah untuk lebih merasakan dengan hati. 

Maka, majulah  terus dalam doa dengan tenang, karena Allah akan mendampingi perjalananmu dan Dia tahu jalan mana yang terbaik bagimu.

Persiapan masuk ke dalam doa:
+ Carilah waktu yang cocok dimana kamu bisa berdoa tanpa diganggu.
+ Carilah tempat, sedapat mungkin tenang, tidak gaduh dan stabil (kamar, kapel, taman, kursi).
+ Ketika mulai berdoa, secara perlahan hadirkanlah dirimu di hadapan Allah dan siapkanlah disposisi batin untuk menyambut Allah yang bersabda dan menyatakan diri.

Lihat kembali metode berdoa:
+ Menciptakan kedamaian hati
+  Menyadari kehadiran Allah
+  Membuat doa persiapan
+  Menggunakan imaginasi
+  Membuat doa permohonan
+  Masuk dalam dialog dengan Allah
+  Membuat niat-niat
+  Doa penutup

Berapa catatan:
+ Dalam doa tidak dikejar target kuantitas, tapi hati.
+ Setelah melakukan meditasi, Luangkan waktu sejenak untuk evaluasi. Tulis beberapa point tentang perikop yang telah engkau doakan, intuisi yang muncul atau keinginan yang muncul selama proses berdoa. Catatan itu akan sangat berharga untuk mengenang kembali Sabda Allah dan (bisa) menjadi bahan untuk colloquium dengan pendamping rohani

Apakah setiap doa perlu dievaluasi?
Lebih baik begitu. Amat sederhana, yaitu mengetahui pergerakan pertumbuhan hidup rohani kita. Beberapa pertanyaan misalnya:
Apakah meditasi dipersiapkan dengan baik?
Apakah akal budi, kehendak dan perasaan terlibat semuanya?
Apakah muncul beberapa buah-buah rohani?
Apakah aku cukup murah hati dan membuka diri kepada Allah?
Dimanakah letak kekacauan konsentrasi?

Pada akhirnya, selamat belajar berdoa. Dan mari kita berterima kasih pada Latihan Rohani St. Ignasius yang, setelah membantu peziarahan hidup doa saya, kini saya bagikan kepada saudara/i terkasih yang ingin berkembang dan menikmati indahnya tinggal bersama dengan Allah.
Salam,
p. Alfonsus Widhi sx

mercoledì 1 agosto 2012

Immagini dal Mentawai



ecco le immagini che ho trovato da youtube per quanto riguarda la missione di padre Otorino Monaci

Padre Ottorino Monaci missionario in Indonesia



In memoriam il nostro caro confratello nelle missioni in Indonesia.. soprattutto nelle isoldi mentawaiane dopo aver passato più di 40 anni di vita e di missione, adesso egli ha consegnato il compito non poco a noi.
Padre, prega per noi e per la gente a noi affidata dal Signore.
alfonso sx

Lettura d'oggi

Friends