sabato 19 ottobre 2013

Berjalan bersama Ibu Maria

Kami memuji dan memuliakan-Mu, Tuhan Yesus Kristus,
dengan kerendahan hati yang mendalam, engkau telah memilih seorang perempuan sederhana, Maria, yang menikah dengan seorang tukang kayu yang miskin, benar dan kudus, Yosep, sebagai orang tua-Mu.
Kami memuji dan memuliakan-Mu ya Yesus, karena engkau mengosongkan kebesaran-Mu sebagai Allah dengan lahir dari rahim St. Perawan Maria, untuk mengisi kehausan kami akan Allah, untuk mengangkat kami dengan kerendahan hati-Mu, untuk menguatkan kami dengan kerapuhan-Mu, untuk menuntun kami menuju kepada kemuliaan kehidupan kekal dengan kematian-Mu di salib.
Thomas a Kempis

Dormitio

Banyak jalan dan banyak tujuan di dalam hidup kita. Tujuan-tujuan itu menunjuk pada sebuah tempat dan juga memberikan cara-cara tertentu untuk bisa tiba di situ. Jika peziarahan dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk “mensakralkan” ruang dan waktu, maka tujuan dan jalan merupakan sarana yang musti dialami sebagai prasyarat agar kita bisa memaknai hidup kita.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ada kehausan manusia akan kebenaran, yang mendesaknya untuk terus mencari kebenaran, mencari kebijaksanaan hati dan memahami tujuan dari kehidupan kita yang penuh misteri ini. Kitab Putra Sirakh, ketika merefleksikan makna dari peziarahan manusia, menuliskan: «Barangsiapa berjalan, dia mengenal banyak hal; barangsiapa berjalan, dia menumbuhkan banyak pengalaman. Aku telah melihat banyak hal selama perjalanan. Pengetahuanku lebih dari pada kata-kataku» Sir 34:9-11)

Makna perjalanan adalah tujuan
Dengan berjalan, kita belajar. Dengan mempelajari banyak hal, manusia akan makin menyadari keterbatasnnya dan dengan dmeikain dia makin terpicu untuk mengembangkan kebijaksanaan dalam kehidupan, kebahagiaan tinggal di dunia, kesadaran akan keberdosaan diri dan kerendahan hati. Maka, kegiatan berjalan itu tidak sekedar menggarisbawahi insting ragawi dan memenuhi rasa ingin tahu kita akan hal-hal baru, melainkan dengan berjalan, kita meneguhkan hakikat kita sebagai manusia peziarah, homo viator.
Dengan berjalan menikmati pemandangan, menikmati indahnya alam pedesaan atau komplek perkotaan, kita diajak untuk menelusuri relung-relung hati kita sendiri. Bukan saja gemerlap lampu yang memikat atau suara jangkrik yang mengerik syahdu yang menentukan indah tidaknya sesuatu, tetapi itu semua bisa ditangkap keindahannya jika hati manusia pun sanggup untuk membuka diri dan menerima keindahan itu. Lika-liku hati kita pun tidak akan menemukan kedamaian, sebelum beristirahat di dalam Allah (St. Agustinus).
Dalam perjalanan, tidak mengherankan bahwa seorang peziarah itu bertemu dengan jalan yang bercabang. Mari kita ingat bahwa perempatan jalan bukanlah tujuan dari peziarahan kita, melainkan sebuah persimpangan sekaligus juga tempat untuk memutuskan: kemana aku akan pergi? Maka, persimpangan bisa menjadi sebuah tempat pencobaan dan mengacaukan tujuan peziarahan yang hendak kita tuju. Seorang peziarah tidak boleh terjebak oleh persimpangan jalan, karena dia akan kehilangan identitasnya sebagai seorang peziarah yang hendak berjalan menuju satu tujuan yang sudah ditetapkan.  Di sinilah justru seorang peziarah ditempatkan dalam sebuah ujian: imannya, maksud dan intensinya yang paling dasar, motivasi autentiknya untuk mencapai tujuan peziarahan atau kembali ke rumah.
Maka, ketika berjalan, sorang peziarah diajak untuk mengalami sebuah panggilan. Dia dipanggil kepada kehidupan. Kehidupan siapa? Kehidupan yang dihembuskan kepada kita, berasal dari Allah. Di sanalah kita semua akan kembali setelah perjalanan kita di dunia ini. Kalau begitu, sejauh manakah saya sudah menunjukkan tanggung jawab kepada kehidupan yang sudah diberikan dan dipercayakan oleh Allah kepada saya?

Kemurahan hati
Berziarah berarti kita menggantungkan diri kita pada kemurahan hati orang-orang, keluarga-keluarga dan tempat-tempat yang kita lewati. Seorang peziarah membawa bekal seperlunya dalam perjalanan. Dia menyadari bahwa semakin banyak benda dimasukkan ke ransel, perjalanan akan semakin tersendat karena harus beristirahat. Akibatnya, perlu waktu lebih banyak untuk tiba pada tujuan yang hendak dicapai.
Melihat bahwa seorang peziarah itu memiliki sebuah tujuan yang harus dicapai, maka sepanjang perjalanan dia pun mempersiapkan diri untuk pertemuan tersebut. Dengan bekal secukupnya dia berangkat. Maka tidak mengherankan bila seorang peziarah itu menumpang tidur dan mencari makan dimana orang menerima dia. Dengan demikian, sikap dasar yang dihidupi oleh seorang peziarah adalah sikap pasrah dan penyerahan diri seutuhnya kepada Allah yang menyelenggarakan kehidupan. Jika seekor burung pipit saja dilindungi oleh Allah, tentu manusiapun mendapat perhatian yang lebih dari seekor burung pipit. Semakin seorang peziarah berserah, semakin pula dia akan menikmati lika-liku perjalanan dengan dinamikanya: diterima atau ditolak, disambut dengan baik atau diacuhkan, diberi makan atau kelaparan dst. Ini semua merupakan bagian dan seni peziarahan. Bersiapkah kita membangun mentalitas peziarah dalam kehidupan kita? apakah yang merupakan kendala dan tantangannya?
Bekal apa yang perlu dibawa? Pertanyaan yang sangat menarik. Selain bekal yang diperlukan untuk kebutuhan fisik, seorang peziarah diajak pula untuk meninggalkan beban-beban lain yang tidak perlu: urusan keluarga, urusan kerja, urusan RT/RW atau mendoakan orang lain. Justru dalam peziarahan, Allah mengharapkan supaya kita berkonsentrasi hanya kepada-nya. Melalui perjalanan menyusuri batin kita, Allah ingin berbicara dan menyampaikan pesannya. Mari kita melihat perjalanan hidup kita. Dimanakah Allah berusaha mengetuk dan menyentuh hati kita? Dimanakah kita justru mengalami krisis akan ketidakhadiran Allah di dalam hidup kita? Apakah yang merupakan bakat dan talenta, rahmat dan keutamaan yang kita miliki dan kita lakukan dengan senang hati? Apakah selama ini saya menganggap hal-hal tersebut biasa atau justru saya mengabaikannya? Inilah tanda dan sarana Allah untuk berkarya di tengah-tengah kita. Jika operasi batin ini dilakukan secara serius, tentu buah-buah dari peziarahan akan dirasakan oleh keluarga, rekan-rekan di tempat kerja atau di RT/RW serta siapa saja yang berelasi dengan kita dalam kehidupan sehari-hari pasca peziarahan.



Persatuan Maria dengan Yesus
Kami memuji dan meuliakanmu, Bunda Allah yang terpilih dan hamba Tuhan (Luk 1:38), atas segala pelayanan penuh kasih dan bantuan yang sangat berharga bagi Yesus Kristus, Putramu; atas berbagai pedang yang menembus hatimu, atas jerih payah dan kerja keras yang engkau tanggung dengan sabar bersama-Nya.
Kami memuji dan meuliakanmu dengan segenap kekuatan, Bunda Allah yang amat setia dan amat dikasihi, atas segala ketekunanmu dalam iman yang teguh dan cinta kasih yang sempurna, terutama ketika para murid tercerai berai karena takut, bahkan ketika hanya sedikit saja dari para murid yang mengikuti Yesus merasa malu, engkau sendiri, dengan kesetiaan yang kokoh, engkau tetap memegang lilin iman yang bernyala dalam misteri sengsara Kristus. Engkau sendiri tidak meragukan akan kebangkitan-Nya pada hari ketiga.
Santa Perawan Maria, Bunda Allah, Ratu surga, Pengantara segala rahmat, kebahagiaan para orang kudus, penghibur orang berdosa, dengarkanlah rintihan para pendosa yang bertobat; dengarkanlah harapan mereka yang mempercayakan diri kepadamu, temanilah mereka yang mendekati ajal, lindungilah hamba-hambamu dari sijahat, bawalah bersamamu siapa saja yang mencintaimu kepada kehidupan kekal, dimana engkau bersama dengan Putra tunggalmu yang terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus, meraja sepanjang segala masa. Amin.
(Thomas a Kempis)
P. Alfonsus Widhi, sx
Paroki St. Matius - Bintaro

 

sabato 12 ottobre 2013

Ritiro del Consiglio pastorale

La Parrocchia di Santo Matius Penginjil - Bintaro
Quando parliamo del Consiglio pastorale della parrocchia, che cosa vieni in mente? é una cosa inutile? é soltanto la formalità? Serve solo per fare le attività affinché ci sono delle cose da mettere per scritto da dire al Vescovo???
Dimenticate tutte queste risposte. Fin dall'inizio, la parrocchia dove sono adesso da quattro mesi circa, funzione benissimo a causa della partecipazione molto attiva dei laici. Circa cinque anni fa, era dovuto costruire un altra parrocchia perchè la chiesa è troppo piccola per contenere diciotto mila fedeli per tutte le cinque messe di domenica. Adesso noi sacerdoti possiamo respirare più tranquilli perché accompagniamo soltanto dieci mila fedeli circa, con più di quattro cento attività annuale.
La domanda più geniale sarebbe: come si gestisce quelle attività? Non aggiungiamo le altre cose spetta al minister sacramentale, le messe nelle famiglie, i funeral, il canonico, gli insegnamenti nelle università, l'administrazione della parrocchia ecc...
Certamente il prete non deve fare tutto e non può fare tutto! Perciò, abbiamo bisogno di un consiglio pastorale, dei prodiaconi, dei volontari, dei catechisti, degli operatori sanitari, dei sagrestani, delle sicurezze .... tutti devono sentirsi che la communità parrochiale è composta da tutti i membri della parrocchia. Perciò... se fosse possibile, tutti dovrebbero partecipare, in un modo o altro, nelle attività parrocchiale.
Celebrare il patrono della stazione di San Bernadette - Tamanmangu
A che cosa serve il Consiglio Pastorale? Considerando la linea di guida della Diocesi di Giacarta, ho notato che il Vescovo desidera lo sviluppo della comunità di base, in cui la famiglia è l'agente principale. L'educazione Cristiana dei fedeli trova il suo centro nella famiglia. Perciò, I responsabili della parrocchia devono impegnarsi molto sulla pastorale delle famiglie: il rapporto tra marito e moglio, il perdono, il dialogo religioso, il vivere da Cristiano nel contesto plural, le sfide della modernità ecc. Credo che in tutti I settori, il prete non può entrare dappertutto. Il parroco ha bisogno dei collaborator, che sono I laici.
Stasera, ci raduniamo tutti... prepariamo il nostro cammino. Prima di progettare le attività del futuro, dovremo restare uniti sulla direzione e la meta da raggiungere.
Chiederei le vostre preghiere, affinché ciò che stiamo facendo... sia benedetto dal Signore.
 
P. Alfonsus Widhi, sx
il 2° vice parroco

venerdì 4 ottobre 2013

Spiritualità tranformativa - digitale

Il paradiso dei Raja Ampat - Papua che ci accoglie
L'estensione geografica dell'Indonesia è molto larga. Fare un incontro al livello nazionale di tutti I rettori dei seminari costa troppo: il biglietto d'aereo, il tempo anche per quanto riguarda la scala di priorità dei problemi da risolvere, dei progetti da fare, delle materiali da collaborare. Perciò,  la Commissione dei Seminari ha creato i vari gruppi dei seminari per poter collaborare meglio. Ci sono cinque gruppi che rappresentano la presenza di tutti.
  
1. Il Vescovo, Mons. Datus Lega insieme con i formatori dei seminari minori
2. I seminaristi della diocese di Sorong - Papua



Dal 20 settembre fino al 24 settembre ho frequentato un incontro di uno di questi gruppi. Erano presenti i rettori di dodici seminari circa, un retore dell'anno postulantato, due diaconi della diocese che ci ospitano, la rapresentanza della Commissione dei Seminari della Conferenza Episcopale dell'Indonesia e sottoscritto. allora, c'erano diciotto sacerdoti e il Vescovo della zona.
I seminari presenti venivano dale città di Manado, Makassar, Ambon e le sue cinque isole-cinque seminari, Sorong, Jayapura, Merauke. Geograficamente, questi seminari sono estesi dall'isola di Borneo fino a Papua.
Il nostro refettorio
Ho offerto il contenuto della spiritualità di carattere transformative, a partire dallo sviluppo tecnologico che invade la struttura dell'uomo... dei nostri ragazzi, affinchè noi come formatori, possano offrire l'accompagnamento adatto al loro linguaggio.
 Non è stato facile preparare questo incontro, perchè il materiale di partenza era una domanda: come costruire l'educazione di carattere transformative, visto il cambiamento globale nell'ambito digitale che penetra anche la densità della foresta di Papua, che supera la distanza delle isole dal mare...
Alla fine dell'incontro, ho raccolto una preoccupazione generale dei rettori: attraverso la presenza dell'internet e dei cellular, i nostri seminaristi  imparano a vivere con la doppia identità, a costruire pian-piano lo spirito di disobedienza e disonesta?
Perché la doppia identità? Per esempio, possiamo prendere un caso molto semplice in cui i genitori di solito mandano il mensile ai ragazzi per il pagamento della scuola (media o superior) e il dormitorio. Ci sono alcuni che iniziano a prendere il mensile per comprare il credito del cellulare o addirittura per comprare "l'ultimo prodotto" dei cellulari. Nonostante la regola fosse forte, fino a divieto dell'uso dei cellulari in seminario, questa non funzionerebbe. Se oggi il rettore incontrasse un seminarista con un cellulare a mano, ed egli lo prenderebbe... domain, quell seminarista avrebbe un altro cellulare dell'ultimo modello e di nascosto!
Apparentemente, quei seminaristi che infrangono le regole potrebbero essere buoni e bravissimi nella classe. Sono bene accettati dai compagni, hanno delle buone relazioni.. ma chissa.. la violazione delle regole commune succeed lo stesso.
Entra anche il problema del disonesto, quando la connessione dell'internet non è presente nel seminario, ma il Rettore deve dare il permesso ai certi seminaristi per andare fuori nei internet cafe, poter fare i suoi compiti. In realtà, non tutti approffittano il permesso a fare tutto ciò che si deve fare. La mancanza del controllo suscita i canali aperti per la violazione delle regole commune.
Allora, dopo aver ascoltate le varie situazioni e i vari problem che nascono e succedono ogni giorno nei vari seminari, mi domando: come possiamo preparare i nostri future sacerdoti, avendo la tecnologia a mano?
Certamente questa domanda non finisce qui... e non da rispondere in fretta. Si inizia ora l'operazione della struttura dei nativi digitali. Ci vuole uno studio integrative, a partire dalla filosofia... per poter meglio comprendere l'incarnazione del Verbo... anche in questo mondo digitale. Mi piacerebbe impegnarsi in questo ambito di formazione, perché è il nostro dovere accompagnare i nativi digitali per affrontare la realtà, la quotidianità... che non sia semplicemente un click del mouse o dei keyboard che esprime la nostra identità. La nostra gioia e fatica della quotidianità va affrontata con la nostra presenza.. tutta.. insieme con la sua fragilità umana. Avere il coraggio per affrontare la fragilità, avere l'onesta per utilizzare la teconologia, avere la maturità per servire il Regno utilizzando i mezzi tecnologici a mano sono alcuni dei nostri compiti. Fratelli, ci vediamo all'anno prossimo per confrontarsi meglio la nostra ricerca e il nostro contributo per preparare meglio i nostri futuri sacerdoti. Tanti saluti da Raja Ampat.

P. Alfonsus Widhi, sx
Missionari Saveriani - Jakarta

Lettura d'oggi

Friends