venerdì 26 settembre 2014

Menyambut Sinode Para Uskup 2014 tentang keluarga

Bagimana kabarnya katekese keluarga? Ini berkaitan dengan pewarisan iman. Pewartaan, perbuatan dan kesaksian iman merupakan tiga aspek yang terwujudnya katekese iman. Pewartaan lahir dari pengalaman iman, perbuatan mengevaluasi kata-kata dan kesaksian iman meneguhkan apa yang diimani dan dihidupi. Keluarga merupakan tempat dimana anak-anak menimba iman dari orang tua. Pewarisan iman dalam keluarga ini  kemudian dilanjutkan dengan pendampingan dari paroki yang menyediakan kursus-kursus untuk pemantapan iman. Setelah menyelesaikan masa katekumenat, katekese umat dilanjutkan dengan katekese persiapan komuni pertama, katekese persiapan penerimaan sakramen penguatan, kursus persiapan perkawinan, hingga kembali lagi ke katekese bagi orang tua yang anaknya akan dipermandikan. Di dalam rentang ini, ditemukan juga berbagai tawaran untuk memperdalam iman seperti aneka kegiatan pertemuan lingkungan, BKSN, bulan Maria, bulan Rosario, kursus pendalaman Kitab Suci, dst.
Letakkanlah sebatang kayu kecil untuk menenangkan air yang bergelombang
letakkanlah salib Kristus untuk menenangkan badai dalam hidup
Instrumentum laboris (Dokumen kerja) Sinode para uskup sedunia tentang keluarga, yang memuat jawaban-jawaban dari konferensi-konferensi wali gereja di seluruh dunia, menggambarkan situasi global katekese keluarga demikian:
(51.) Ada berbagai banyak jawaban yang serupa dari berbagai benua berkaitan dengan persiapan perkawinan. Kami menemukan banyak sekali kursus-kursus di paroki atau di seminari, retret doa untuk pasangan, yang melibatkan baik imam dan volunteer, pasutri yang matang dalam pengalaman hidup berkeluarga sebagai pemrakarsa. Dalam kursus-kursus persiapan perkawinan ini, beberapa tujuan yang ingin dicapai adalah: relasi pasangan, kesadaran dan kebebasan dalam pilihan, pengenalan tugas-tugas sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat dan sebagai umat beriman, pengulangan katekese inisiasi dengan memberi perhatian secara khusus pada sakramen perkawinan serta mendorong keterlibatan pasangan pada kehidupan menggereja di lingkungan dan di masyarakat

giovedì 25 settembre 2014

io Credo?

magari... scrivere questo è inutile. Però, visto che questo video è girato pubblicamente e hanno fatto confusione tra i ragazzi, allora cercavo di scrivere qualche riga.



  1. La religione è composta  fondamentalmente dalla comunità dei credenti, dalla dottrina e dal culto.  Questo serve per organizzare meglio tutti elementi che la compongono. È come un’organizzazione naturale operata da uomo e donna come te e come me. Abbiamo la capacità per farci santi o  peccatori. Questo dipende dalla nostra maturità nel gestire la libertà, il sinonimo della responsabilità. In un periodo, una religione ben organizzata può dare un contributo molto positivo alla società, viz. A volte, la cosa peggiore della società può arrivare proprio dal conflitto all’interno della religione! Ma non dimentichiamo che la qualità della scuola (dove sta la formazione umana), lo stile della formazIone e la società in cui la persona si è inserita, attribuiscono qualcosa alla religione. Magari, prima che qualcuno abbracci una religione, sarebbe meglio che abbia la maturità personale, attinta dalla famiglia.
  2. Dio non è una legenda del passato. Quando parliamo dei nostri cari defunti, questi fanno parte della nostra storia nel passato o la favola soltanto che abbiamo dei dubbi sulla loro storicità?  Erano insieme con noi oppure la loro presenza era un’apparenza sotto la pelle? Qui si tratta della nostra capacità per intendere la realità concreta. La storia di Gesù fa parte della nostra storia. Oltre nel racconto del Vangelo, la possiamo trovare anche nel manoscritto dei romani. Visto che voi siete bravi a leggere wikipedia, allora vi do’ questo indirizzo per leggere un articolo sulla storicità di Gesù nostro Signore. In breve, nel Talmud Babilonia, negli scritti di Giuseppe Flavio, quelli di Giustino di Nablus ecc. Basta comprendere ciò che abbiamo letto, ci fa capire la storicità di un Dio fatto uomo che abita in mezzo a noi.

PIKAT V: Penyegaran Iman Katolik

PIKAT adalah sebuah kegiatan katekese umat yang diberikan oleh Paroki St. Matius Penginjil dan Santa Maria Regina Bintaro. Kegiatan ini berangkat dari sebuah kehausan umat akan adanya katekese berkelanjutan. Banyak orang merasa tidak cukup beriman hanya dengan mengikuti perayaan ekaristi mingguan dan harian. Maka dirasa mendesak untuk membuat sebuah pembelajaran bersama tentang ajaran-ajaran Gereja. 
Selama kursus PIKAT I hingga IV, tema-tema yang disodorkan berkaitan dengan aspek pemberdayaan umat. Mulai dari belajar tentang teknik repat, seni komunikasi, pengetahuan dasar tentang devosi, liturgi, sakramen, magisterium... hingga pikat yang lalu, secara khusus kita berbicara tentang CREDO dlam 23 pertemuan.
Kali ini, bertepatan dengan Sinode para uskup tentang keluarga dan juga berbagai situasi kehidupan keluarga yang ada di Jakarta, kursus Penyegaran Iman Katolik mulai membumi dengan mengikuti arus zaman dan situasi yang sedang menjadi keprihatinan dari Bapak Paus Fransiskus. Tema sakramen perkawinan menjadi topik utama. 
Berikut gambaran sekilas tentang seluk beluk Penyegaran Iman Katolik (PIKAT V) tentang keluarga.

Latar Belakang
  • Sinode para uskup sedunia pada bulan Oktober bertemakan Tantangan-tantangan pastoral tentang keluarga dalam konteks pewartaan
  • Instrumentum laboris dokumen sinode para uskup tersebut menuliskan tiga keprihatinan tantangan pastoral keluarga: krisis iman dalam relasi dengan keluarga, tantangan internal dan eksternal berkaitan dengan realitas keluarga, beberapa situasi sulit terkait dengan budaya individualisme dan ketidakpercayaan pada kestabilan relasi.
  • Rentannya kehidupan berkeluarga berangkat dari krisis iman, mulai dirasakan dalam konteks kehidupan berkeluarga di Jakarta

Menikah = SInkronisasi jam tangan (5)


5) Dari hidup bersama menuju bersama-sama menghidupi keluarga. Perasaan cinta pada pasangan kerap menjadi alasan mengapa seseorang memutuskan untuk mengkekalkan cinta itu dalam ikatan janji perkawinan. Tetapi, ikatan janji perkawinan tidak boleh dibingungkan dengan perasaan spontan mencintai pasangan. Ikatan janji bersifat tetap, sedangkan perasaan seseorang pada pasangan itu bersifat dinamis. Perasaan cinta itu kadang bernyala-nyala seperti api yang membara, kadang juga dingin seperti es  dan menjadi seperti orang asing di rumah sendiri.
Duduk dan ngopi 5 menit besama, bukanlah membuang waktu
Ketika rasa cinta mulai menghilang dan legalitas hukum ikatan janji perkawinan mulai ditekankan, muncul alarm dalam relasi yang tidak bisa ditunda lagi untuk diperhatikan. Nervosisme dalam berelasi mulai muncul dengan memberi jarak mekanisme pembelaan diri pada pasangan dengan misalnya, mencari kambing hitam pada olah raga, pekerjaan, kecapaian, sakit kepala dst.

Menikah = Sinkronisasi jam tangan (4)


4) Tetap berbeda, tetapi saling tergantung. Kita terbiasa melakukan segala sesuatu secara mandiri, sendiri dan dalam kesendirian atau bersama-sama dengan orang lain? Dalam keluarga, beberapa contoh diskusi seperti ini kerap muncul. Misalnya, apakah berpartisipasi dalam doa lingkungan atau latihan koor bersama-sama di lingkungan adalah buang-buang waktu saja? Apakah membawa anak-anak untuk ikut bina iman di wilayah, mendorong remaja untuk ikut kegiatan OMK atau melibatkan diri sebagai volunteer untuk kegiatan-kegiatan di paroki itu tidak baik bagi perkembangan mereka? Bagaimana mengefektifkan komunikasi bagi keluarga yang semuamnya berkarier, dimana waktu efektif untuk bertemu, berkumpul, tinggal bersama dan menghidupi dinamika keluarga minimal hanya tiga sampai empat jam per hari?
Bersama menjunjung
Negosiasi dan dialog dalam keluarga bukanlah sebuah kegiatan teknis atau sebuah kesepakatan semata, melainkan ingin menggarisbawahi dan menjaga ruang privat dan ruang berbagi dalam keluarga. Sampai dimana batas saya sebagai suami / istri dalam relasi dengan pasangan saya. Hal-hal mana yang bisa dan boleh dibagikan, boleh diketahui, boleh diintervensi dan mana yang tidak boleh dan tidak bisa. Ruang dialog adalah dampak dari kesiapsediaan afektif masing-masing untuk saling memberi satu sama lain, atau justru merupakan ungkapan saling ketergantungan satu sama lain untuk menemukan ukuran dan patokan yang sesuai. Logika yang ditawarkan di sini adalah transformasi sikap dasar, dari peneguhan ego hanya saya saja atau hanya kami saja (mungkin juga absah-absah saja) menuju pada ketergantungan satu sama lain yang dipilih hanya karena cinta, untuk cinta dan demi cinta, dengan menghargai dan menerima kondisi pasangan apa adanya; atau, dari sikap mau mendikte pasangan, menuju memahami pasangan.

Menikah = Sinkronisasi jam tangan (3)


3) Pengaruh masa lalu bagi hidup perkawinan. Kadang kita pernah mendengar ungkapan ini: ah, kalau suka ngotot itu mah penyakit turunan! Dia mah mau menang sendiri dan gak mau ngalah! Meskipun dia gak punya apa-apa, tapi kalau ada orang yang minta sesuatu, pasti diada-adakan deh; atau, meskipun dia kelelahan, kalau ada teman yang ngajak pergi, pasti dia pergi! Dia mah cuek mulu.. Dia itu sederhana banget! Kalau bajunya belum sobek, gak mau diganti! Dia itu pendiam, tapi kalau sekali bicara, pasti ada maknanya…
Kerapkali hal ini tidak dapat dipungkiri muncul dalam karakter dan sikap masing-masing pasangan. Variasi sikap dan perangai kita muncul karena pengaruh yang diterima dan terkondisikan secara tidak sadar di masa lampau. Sejauh mana hal itu disadari oleh masing-masing pribadi dalam relasi pasutri baru? Seolah-olah ada sebuah gejala transfer dalam kehidupan kita: cara berpikir, cara merasa dan bertindak di masa lampau itu terungkap secara tidak sadar dalam relasi kita yang sekarang dengan pasangan, dengan orang lain atau dengan peristiwa dan hal-hal di sekitar kita. Maka, PR besar buat pasutri muda adalah menyadari karakter-sikap yang muncul secara otomatis. Perlu dikenal betul asal muasal emosi yang muncul serta reaksi – sikap yang ditimbulkannya.
Banyak jalan menuju ke Roma,
banyak pengalaman kehidupan
para pasangan telah membentuk diri masing-masing
untuk tiba hingga hari ini
Bagaimana hal ini bisa mempengaruhi relasi pasutri muda? Kehidupan baru bersama pasangan bisa merupakan sebuah titik awal, tapi juga titik akhir. Perlu kita ingat bersama bahwa pasangan kita bukanlah sebuah kertas HVS putih, kosong dan halus dimana siapapun bisa menorehkan tinta semaunya. Dalam diri masing-masing pasangan, ada kecenderungan tetap untuk “memaksakan” secara tidak sadar, sebuah situasi seturut dengan gaya hidup yang selama ini dia alami bersama keluarga asalnya, yang dia pandang baik. Setiap orang berelasi dengan orang lain mirip dengan cara berelasi yang terbentuk secara perlahan-lahan di masa lampau. Misalnya, bagaimana saya menyapa orang asing? Apa yang harus saya lakukan jika bersalah? Apa yang saya lakukan ketika saya ingin menang padahal saya sendiri menyadari bahwa saya salah? Apa yang harus saya lakukan ketika ada orang meminta maaf? Bagaimana ungkapan kebahagiaan dan kemarahan saya? Apa yang saya pikirkan dan ingin terapkan dalam keluarga tentang doa bersama, makan bersama, pengaturan keuangan, kesehatan dan pendidikan? Reaksi spontan apa yang muncul di hadapan sebuah peristiwa yang mengagetkan? Dan masih banyak lagi…. Ini mirip dengan mencampur anggur lama bersama dengan anggur yang baru.
Dalam hukum sebab akibat, tekanan timbal balik dari masing-masing pasangan kerap menghasilkan pertentangan kekuasaan atau dominasi dalam keluarga, karena masing-masing bersikukuh akan kebaikan menurut pengalamannya. Tanpa masuk dalam sebuah ketegangan dan mempersalahkan atau membenarkan masa lalu dan sekarang, perlu kita menerima bahwa kepribadian kita dibentuk karena pengaruh lingkungan. Apa yang kita lakukan kepada pasangan dan orang-orang di sekitar kita saat ini, terpengaruh sedikit banyak oleh pengalaman kita di masa lalu, sejak kanak-kanak. Masalahnya bisa bervariasi, tetapi cara menanggapinya bisa serupa, karena dipahami dengan tidak sadar dengan cara serupa di masa lalu. Maka, reaksi yang muncul juga diperkirakan tidak jauh-jauh amat, meskipun situasi sekarang berbeda dengan situasi masa lalu.

Komitmen untuk membuat sebuah kehidupan bersama, kerap diwarnai dengan kerikil-kerikil tajam karena masing-masing mengeluarkan dari ranselnya, pola pikir, gaya hidup dan cakrawala yang lama, yang tidak sesuai dengan pasangannya. Masing-masing menilai pasangannya sesuai dengan apa yang dipikirkan, bukan menurut situasi dan konteks yang sedang dialami pasangannya pada waktu itu dan di situ. Mengetahui hal ini dengan sadar adalah langkah pertama. Berikutnya adalah menyadari sikap kolot masing-masing dengan tersenyum dan sadar bahwa sekarang waktunya untuk berubah dan memikirkan yang terbaik bersama. Ingat, bahtera kehidupan keluarga baru berangkat dari dermaga. Dengan demikian penting sekali mengenal lingkungan sekitar dimana pasangan kita itu hidup, untuk memahami sebab musabab munculnya sebuah reaksi yang mengagetkan kita. Reaksi yang muncul itu hanya penampakan saja, di baliknya, ada sebuah situasi yang membentuknya. Mari kita pahami situasi gunung es di bawah laut itu, karena menikah adalah mensikronkan jam tangan, menyelaraskan kehidupan dua insan.
bersambung....

Menikah = Sinkronisasi jam tangan (2)


2) Satu, tapi dua. Bersatu tapi berbeda. Itulah dinamika sebuah keluarga. Di awalnya berbicara tentang jam pulang kerja, mengobrol tentang situasi di tempat kerja, bicara sedikit tentang  jam berapa mulai tidur, siapa yang mematikan lampu, tidur dengan lampu terang benderang atau dimatikan atau pakai lampu kecil, jam berapa bangun dan makan pagi bersama, siapa yang siapkan makanan, apa yang dilakukan pada hari minggu atau hari libur … Kalau dibuat daftarnya, tentu akan sangat panjang. Dalam dialog ini perlahan kedua partner akan memahami kemampuan individuasi dan persekutuan dari masing-masing pasangan.
Ini matahari sedang terbit atau sedang tenggelam?
Ada dua kutub muncul dalam dialog ini. Di satu sisi adalah tingkat individualitas dan pemahaman tentang perbedaan, serta di sisi lain adalah tingkat persekutuan dan relasi. Dinamika kedua kutub ini menjadi bumbu dalam membangun sebuah keluarga, dalam menciptakan keharmonisan, yang tetap menghargai perbedaan identitas. Dialog mulai sulit ketika masing-masing pasangan kehilangan sudut pandang positif akan yang lain, atau dengan kata lain, hanya melihat bahwa pendapatnya saja yang paling benar dan tidak bisa dikompromikan! Individualisme yang berlebihan ini akan merugikan persekutuan hidup yang telah diputuskan bersama dan sedang dibina dengan pasangan.
Memiliki otonomi pribadi dan tahu menempatkan diri dalam relasi dengan pasangan, merupakan dua garis perkembangan sebelum pernikahan. Akar kematangan kepribadian ada dalam pengalaman dasar sejak masa kecil di keluarga dan segebok pengalaman yang dilaluinya di kemudian hari, memberikan kontribusi untuk makin membentuk atau merapuhkan dia.
Di saat pacaran, mengetahui dengan baik calon pendamping hidup itu sangat penting. Tujuannya agar masing-masing memahami identitas, kematangan kepribadian dan kesanggupannya untuk berbagi, untuk mensinkronkan dua jam tangan yang berbeda, serta tidak berpikir untuk bisa mengubah yang lain. Pribadi yang kurang dewasa dan kurang matang, justru akan memberatkan dirinya sendiri pada saat menjalani hidup perkawinan. Berpikir bahwa bisa merubah yang lain pun harus dimulai dengan perubahan dalam diri sendiri.
Beberapa bahan untuk permenungan bersama:
  • Unsur-unsur dan nilai-nilai apa sajakah yang menjadikan keluarga itu sebuah lembaga khas dan unik?
  • Alasan historis dan sosial apakah yang menjadikan keluarga modern saat ini mengalami kesulitan untuk menentukan identitasnya?
  • Apa yang menjadi isi panggilan dan perutusan keluarga-keluarga katolik di masyarakat dan di Gereja?


Tidak bisa membangun sebuah keluarga tanpa bagasi belaskasih dan iman (E. Schneider)

Menikah = sinkronisasi jam tangan (1)

Menjelang Sinode para uskup seduni tentang keluarga, tergoda keinginan saya untuk memfokuskan perhatian pastoral saya pada tema ini sebagai kerangka dasar dalam beberapa bulan ke depan. Banyak pro dan kontra yang muncul berkaitan dengan tema-tema dan paradigma yang disodorkan oleh sinode. Sebuah artikel tentang kehidupan berkeluarga saya ketemukan di antara tumpukan file lama, dari Paolo Magna, berjudul Oggi Sposi: Sincronizzare gli orologi. Artikel ini diterbitkan tahun 2009 oleh majalah Tredimensioni (6). Membacanya berulang membuat saya berpikir dan mengkonfrontasikannya dengan kehidupan berkeluarga yang ditemui oleh umat paroki di sini khususnya. Benang merah yang dituliskannya pun berbaur dengan kehidupan konkret, maka upaya menterjemahkannya pun tidak bisa lurus apa adanya, melainkan berkarakter inkarnatoris: ada kata dan fakta yang tertoreh di sini. Bagi rekan-rekan pembaca blog ini, selamat membaca dan mari kita membangun pastoral keluarga di tempat dimana kita berada.
Hidup itu kalau penuh dengan dinamika, sangat indah.

Apakah berbicara tentang pernikahan di zaman kita ini, adalah sesuatu yang menakutkan? Apakah ini “kuk” yang harus dipanggul oleh pasangan muda? Perlu disadari bahwa dengan menikah, ada dua jam tangan yang dicocokkan, ada dua ritme kehidupan yang disejajarkan (bukan disamakan!) di bawah satu atap. Ada pergeseran dari cinta romantis dan berkarakter pribadi, menuju pada cinta yang realistik dan sebuah komitmen berbagi bersama. Cinta yang sudah diresmikan dalam ikatan perkawinan ini pun, akan masuk dalam realitas hidup bersama di masyarakat.
Jarang sekali ditemukan fakta bahwa orang memutuskan untuk menikah itu terjadi dua minggu sebelum hari pernikahan! Menikah bukanlah hasil sebuah spontanitas untuk tinggal bersama, tetapi merupakan sebuah tindakan yang direncanakan secara konkrit dan sengaja direncanakan. Bicara soal pacaran, disinilah kita bisa mengevaluasi kualitas pacaran yang baik hingga menuju pada sebuah perkawinan. Tidak hanya yang baik, yang indah, yang romantis saja yang dihidupi bersama-sama, tetapi perlu juga mengenal jatidiri sesungguhnya dari pasangan, yang bersamanya aku akan tinggal seumur hidup! Banyak hal harus diketahui dan dikenal dari pasangan.
Kita patut heran, jika ada salah satu pasangan mengatakan bahwa, ternyata dia bukan yang kukenal selama ini, atau menyesal telah menikah dengannya…, atau menyampaikan litani keluhan tanpa akhir tentang pasangan beberapa saat setelah menikah. Oleh sebab itu, perlu ada beberapa tugas yang harus dilakukan.
1) Melacak jejak. Pasangan harus memiliki kekuatan jelas untuk membatasi daerah privat dan publik yang dimiliki sebagai hasil sebuah perkawinan. Daerah privatnya adalah relasinya dengan pasangan, secara internal, sebagai sebuah keluarga. Anda berdua yang baru menikah, memiliki sebuah tanggung jawab baru, daerah baru dan pasangan baru. Daerah ini harus dilindungi dari setiap “penyusup”. Beberapa penyusup dalam keluarga muda adalah: mertua (orang tua masing-masing pasangan), ritme kerja (selalu pulang malam dan lelah), tekanan ekonomi (kebutuhan membengkak sehingga harus kerja lebih banyak), stress di tempat kerja…ini semua bisa menjadi kerikil-kerikil yang merintangi relasi suami istri sebagai keluarga.
Tentang mertua, bukan berarti memutuskan relasi total dengan keluarga yang baru dibangun, tetapi, perlu mendidik mereka agar memiliki relasi yang baru, yang sejak saat ini, adalah dengan sebuah pasangan keluarga, bukan pertama-tama dengan anaknya sendiri. Bagi mertua, hal ini tidak mudah, terutama bagi keluarga yang protektif. Bagi keluarga protektif ini, anak-anak itu selalu anak-anak, muda dan tidak berpengalaman, untuk menyadari apa artinya membangun sebuah keluarga. Orang tua merasa paling tahu yang terbaik tentang apa yang dibutuhkan oleh anaknya yang sudah menikah. Wacana tentang “kebaikan” menurut mertua dan menurut keluarga baru harus dibicarakan, bukan dikondisikan dan dipaksakan. Pembatasan diri bagi pasangan muda juga tidak mudah, karena mereka merasa selalu perlu bantuan dan merasa tidak bisa dewasa dan harus terikat dengan orang tua. Wacana kemandirian keluarga baru adalah wujud dari kematangan kepribadian dua orang yang mengikat diri dan berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga. Terimakasih kepada orang tua yang sudah melahirkan, mendidik dan membesarkan anak. Sekarang jatah porsinya anak untuk membangun sebuah keluarga. 

Lettura d'oggi

Friends